Jumat, 18 Februari 2011

Kau Tinggalkan Aku, Kau Dendamkan Aku

Sayang, biarkanlah aku pergi sendiri dalam perjuangan ini walau itu tanpa mu, perbincangan kita telah tidak menemukan titik terang lagi, aku harus melanjutkan perjuangan ini walau itu sendiri ku lakukan, alasan mu sudah jelas kau begitu meragukan tentang diri ini yang belum memiliki tempat menetap yang setiap bulannya ada pemasukan. mereka butuh aku disana, dimana anak-anak yatim yang keyatimananya telah ditakdirkan oleh perang dan perempuan janda yang kejandaan telah dirampas kejamnya konflik senjata beberapa tahun yang lalu, ya aku tak memiliki gaji bila harus bersama mereka, mungkin itu alasan pertama kau ragukan aku tak sanggup memenuhi mahar lamaran tentang dirimu dan tak mampu membangun rumah kecil tempat istrihat dirimu nantinya, rumahku yang kina beratap langit.
aku ikhlas kau memilih jalan mu, kalau lebih bahagia tanpa aku disampingmu, lebih bebas tanpa harus mendengar keluh kesah yang datang menderu dari hal-hal yang tak tertuda. banyak kenangan antara kita, terlalu banyak janji yang belum ku tunaikan dan kau tak mau memberikan aku kesempatan menunaikan janji itu lagi.
sayang. aku tetap bersama mereka yang hak-hak mereka terampas, hak mereka yang telah diperkosa, hak kesehatan mereka terabaikan dikaki lanati rumah sakit megah, aku berada disana bersama mereka walau aku ditinggal senidiran.
aku tak harus kecewa yang berlarut karna itu takdir mu yang tak mungkin aku sesali, kini ku benah sendiri takdirku setalah kau tinggalkan sebelum subuh lewat pesan singkat yang masuk ke inbox ku.
sayang, jika saja kau ingin dendam hanya karna aku tak mampu membahagiakan dan tidak memiliki pekerjaan tetap yang kini telah kau tinggalkan itu masalah mu, semua itu aku serahkan pada yang Maha Kuasa karna aku tak memiliki kuasa akan hal itu.
kau boleh membenciku, muak atau sejenisnya paling tidak aku juga orang yang pernah kau cintai yang begitu mengentarkan jiwa mu.
aku harus melanjutkan perjuangan ini karna itu panggilan hati, aku kembali kekampung disana aku hidup bersama hak mereka yang terampas. jika saja kau ingin kembali nanti saat aku masih sendiri dan mau menerima aku apa adanya walau adanya aku telah semua kau ketahui karna tak ada yang aku tutupi dari mu. SELAMAT BAHAGIA UNTUK MU, SEMOGA SKRIPSINYA CEPAT KELAR TANPA HAMBATAN KARENA DI TAHUN INI KAU MENJADI SARJANA DAN MENDAPATKAN KEKASIH SEPERTI YANG KAU INGINKAN KU DO’AKAN ITU UNTUKMU.
AKU kembali tanpa gelar SARJANAku.
Salam sayang Untuk mu

Melamun apa kah hari ini

Dalam keseharian kita sering mendapatkan sebuah kesulitan hidup yang terus-menerus membebani kita tanpa henti, waktu terasa berjalan begitu cepat berlalu tanpa kita sanggup melakukan apa yang kita inginkan. Keseharian kita, tanpa kita sadari telah membungkus waktu yang telah berlalu di dalam hati dan pikiran kita, banyak kisah kita lalui namun tidak semua kisah menjadi kenyataan yang kita dambakan.
Merubah sebuah kebiasaan yang telah melekat sejak kita mendapatkan kebisaan tersebut, pasti akan sulit merubahnya. Itu baru dari diri kita sendiri yang memang tidak melibatkan orang lain, betapa sebuah kebisaan yang kita milki begitu sukar untuk kita rubah sendiri. Saya tidak ingin membicarakan hal kebiasan tersebut lebih panjang, namun saya ingin mencoba menempatkan kebisaan  kita dalam melakukan daya pikir kita sehari-hari.
Banyak orang berkata “jangan banyak melamun nanti kesambet (kemasukan roh halus)”, taukah anda jika melamun adalah sebuah pekerjaan yang paling mudah dikerjakan. Berandai-andai. Dalam lamunan, kita bisa menjadi apa saja dan melakukan apa saja. Kita bisa berimajinasi menjadi Gatotkaca, superhero dari Indraprasta yang berotot kawat, bertulang besi, bisa terbang hilir mudik sesuka hati.
Dalam melamun, kita bisa membalik masa lalu. Buat gadis-gadis yang pernah dihamili pacar-pacarnya mungkin akan berandai nggak akan mengerjakan perbuatan terkutuk itu dan menanggung efek depannya (karena hamil memang melendung ke depan tidak ada yang ke samping).
Tapi, mengandaikan sesuatu yang telah terjadi adalah kesia-siaan. Bahkan tak terpuji. Masa lalu sudah terjadi, tak ada yang bisa mengubahnya. Berandai-andai dengannya hanya memperpanjang penderitaan bahkan bisa menjadi trauma.
Jadi, biarkanlah air matamu meleleh dengan mengingat itu semua. ketimbang berandai-andai bisa mengulang masa lalu. Bila itu yang kita lakukan, maka itu adalah sebuah kontemplasi. Merenung dan memikirkan serta mencari pencerahan atas berbagai permasalahan kita
Namun tahukah anda jika melamun juga memilki sisi kebaikannya. Kegiatan tanpa aktivitas ini ternyata punya manfaat yang luar biasa. Bisa bikin pasangan tambah mesra sampai membuat Anda naik gaji. Jangan melamun dulu, mari kita lihat apa keunggulan yang terdapat dari pekerjaan melamun.
Para ahli memperkirakan, porsi melamun seseorang dalam sehari bisa mencapai sepertiga sampai setengah jam sadarnya alias ketika tidak sedang tidur. Satu lamunan tidak ada yang bertahan lama, paling tidak hanya beberapa menit.
Melamun sering dianggap sebagai kegiatan negatif karena memang hanya pikiran saja yang menerawang tanpa fisik bekerja. Namun rupanya secara mental pula banyak keuntungan yang bisa didapat dari kegiatan melamun. Selain membuat semangat terus kencang masih banyak hal positif lain dampak dari melamun.
Melamun sesekali saja memang menimbulkan banyak manfaat tapi hati-hati melamun juga punya sisi negatif. Sebagai contoh, terlalu terobsesi akan sesuatu bisa membuat seseorang mengisolasi diri dan menghabiskan waktu dengan pikirannya sendiri. Padahal mimpi pada dasarnya tak akan terwujud tanpa usaha.
Melamun di sela-sela rutinitas memang melenakan. Mulai dari membayangkan kisah masa lalu yang suram hingga mimpi indah tentang masa depan. Tapi tahukah Anda bahwa kebiasaan ini tak hanya bisa mengganggu pekerjaan, tapi juga membuat seseorang merasa tidak bahagia.
Penelitian tim psikolog Universitas Harvard menunjukkan bahwa mayoritas orang menghabiskan 46,9 persen waktunya untuk melamun. Inilah yang dikata membuat kebahagiaan seseorang tereduksi.
Penelitian itu menekankan bahwa kebahagiaan seseorang yang sebenarnya adalah ketika hidup di alam realita, bukan ketika berkelana dalam lamunan indah tentang sukses hidupnya.
Puncak tertinggi kebahagiaan datang pada waktu komunikasi aktif dengan teman-teman. Teori yang sama menjelaskan mengapa begitu banyak orang lebih suka melakukan olahraga ekstrem, mendaftar di berbagai klub dan menghabiskan malam di bar, sambil berbicara dengan teman-teman.
Banyak orang seringkali tanpa sadar hanyut dalam lamunan ketika mendengarkan musik, bermain, istirahat, bekerja, atau duduk di depan komputer. Lamunan jarang muncul ketika sedang membaca, menonton televisi, atau melakukan pekerjaan rumah.
Jadi melamun apakah yang menjadi kesukaan anda ?

bangkai

“Inaaaah!” “Inaaaahh!!”
Pekik Mak Saonah sambil membekap mulut dan lubang hidungnya saat baru masuk rumah, sehabis pulang dari ‘pasar kaget’, belanja sayur, pagi itu.
Inah, putri bungsu Mak saonah yang tengah asyik bergosip-ria dengan kawannya di ujung telepon, di kamar yang bersebelah dengan ruang tamu, menyahut Maknya dengan teriakan pula. “Iya, Maak bentar…!” “Cepetaan, Inaaah! Mak Nggak tahan baunya, niih!” pekik Mak Saonah tuk kesekian kali. Kali ini dengan volume lebih memekak kuping. Kucing belang kesayangan Inah yang tengah pulas “ngluwer” di atas kursi rotan sehabis nyolong ikan asin di dapur sontak terlonjak kaget dan secepat kilat langsung terbirit menerobos jendela ruang tamu yang menganga lebar.
Inah pun keluar kamar dengan raut berbalut cemberut.
“Apaan sih, Mak. Pagi-pagi ginia udah heboh begitu,” ucap Inah. “Lho, Mak? Mak kenapa? Sakit gigi ya, Mak?” lanjut Inah. Kali ini, raut cemberutnya berganti mengheran spontan saat mendapati Maknya menutup mulut dan hidung sementara pandangannya menyisiri seluruh isi rumah.
“Sakit gigi, gundulmu itu. Eh, Nah, emang kamu nggak bau apa?” sahut Mak Saonah saat melihat anak perempuannya itu berwajah seperti tak mencium bau-bauan sesuatu. “Bau? Bau apaan sih, Mak?” tanya Inah sambil menaik-turunkan hidungnya yang tak begitu bangir, mencari-cari bau menusuk hidung yang dimaksudkan Maknya barusan. “Kamu tadi nyapu rumahnya nggak bersih kali, Nah! Perasaan sebelum Mak pergi ke pasar, nggak ada bau-bauan kayak begini deh,” ujar Mak Inah kali ini sambil jongkok, menyisiri seluruh kolong kursi rotan dan almari televisi yang tergeletak di pojokan ruang tamu. Nihil. Mak Saonah tak menemukan apa pun di kolong itu.
Setelah beberapa detik Inah menggerak-gerakkan batang hidungnya, kali ini indra penciumannya sukses menangkap bau yang memang terasa begitu menyengat, seperti…, bau bangkai. Ya, benar banget. Bau bangkai. Tak salah lagi. Tebak Inah dalam batin.
“Iya, bener, Mak. Bau bangkai!” Inah ikut-ikutan Maknya menutup rapat mulut dan lubang hidungnya.
“Nah, bener kan? Jangan-jangan kucing sialan itu yang membawa tikus ke dalam rumah ini,” sahut Mak sewot.
“Eeeh, Mak jangan asal nuduh cemong gitu dong,” Inah tak rela jika cemong, julukan kucing kesayangannya yang biasa ia elus-elus tiga kali saban hari itu, jadi sasaran fitnah kejinya Mak. Ugh! Apa Mak udah lupa kali ya, jika fitnah itu lebih keji dari pembunuhan.
“Udah, udah. Nggak usah bahas kucing itu. Mendingan sekarang kamu bantuin Mak periksa seisi rumah ini, cari bangkai itu sampai ketemu!” perintah Mak Saonah yang terlihat masih enggan melepaskan telapak tangannya dari mulut dan hidungnya.
Namun, hingga jarum jam menunjuk ke angka tujuh kurang seperempat, tak jua ditemukan bangkai yang lama-lama baunya cukup menyengat, membuat seisi perut seakan mau buncah dari sarangnya. Inah mengomel-ngomel tak karuan. Karena selain tak sempat sarapan pagi, ia mesti lari tergopoh-gopoh menuju sekolah yang jaraknya seratusan meter dari rumahnya.
***
Inah begitu terhenyak saat melihat Pak Kepala sekolah ditemani Pak Sigit dan Bu Halimah telah berdiri mematung badan di depan pintu gerbang sekolah. Waduhh, gawat. Pasti aku bakalan kena hukum karena telat masuk, gumam Inah mendadak diserbu gerah dan gelisah.
“Kenapa telat!” cegat Pak Kepala sekolah dengan raut tak bersahabat. Pak Sigit dan Bu Halimah menatap Inah dengan tajam. Nyali Inah pun menyusut-menciut. “Mm… ma…ma’af, Pak. Ta… tadi membantu ibu dulu,” kalimat Inah terpatah-patah. “Membantu apa? Jangan banyak alasan kamu,” sergah Bu Halimah dengan tatap menelikung, tajam mengunjam jantung. “Nya… nyari bangkai di rumah, Bu,” ucap Inah ragu-ragu.
Pak Halimah dan Pak Sigit saling bersitatap, seperti ingin menyungging senyum, tapi urung. Sementara Pak Kepala Sekolah dahinya langsung mengernyit.
“Bangkai…?” heran Pak Kepala Sekolah. “I..iya, Pak,” jawab Inah takut-takut.
Beliau manggut-manggut kecil.
“Ya, sudah, sekarang kamu masuk, kali ini kamu Bapak maafkan. Tapi, kalau sampai terlambat lagi, jangan harap kamu bisa lepas dari jerat hukuman,” lanjut Pak Kepala Sekolah.
Kalimat yang meluncur dari bibir Pak Kepala Sekolah serta-merta membuat dada Inah terasa plong. Sempat Inah melirik reaksi raut Pak Sigit dan Bu Halimah yang sinis; sepertinya kurang begitu suka kalau ia terbebas dari jeratan hukuman begitu saja. Tapi Inah tak peduli, toh Pak Kepala Sekolah telah mengetuk palu kebebasan untuknya. Inah pun bersilekas ngeloyor masuk dengan membungkukkan badan tanda hormat pada gurunya. Tapi, baru saja ia melewati ketiga gurunya itu…
“Tunggu…!” suara Pak Kepala Sekolah sontak menghentikan langkah Inah. “Ii… iya, Pak,” sahut Inah seraya spontan memutar badan dengan guratan wajah heran berbalut khawatir. Waduh, jangan-jangan beliau berubah pikiran, batin Inah was-was cemas. “Kamu belum mandi, ya?” pertanyaan Pak Kepala Sekolah sontak membuat Inah terkesima.
What? Belum mandi? Enak aja! Sabunnya saja pake punya Luna Maya, batin Inah masygul.
“Su…sudah kok, Pak?”
Inah menatap satu persatu ekspresi wajah ketiga gurunya yang sama persis; mendengus-denguskan hidung sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya ke depan hidung masing-masing.
“Kok kamu bau bangkai, sih?” kata Bu Halimah sambil menutup hidung. “Iya, ya Bu, padahal tadi nggak, lho,” tambah Pak Sigit ikut-ikutan membekap hidungnya. Pun tak beda dengan Pak Kepala Sekolah yang lantas melakukan hal serupa. “Sana sana sana…, cepetan masuk!” perintah Pak Kepala Sekolah pada Inah agar segera masuk kelas. Inah menghambur ke kelasnya dengan mengusung ribuan tanda tanya tanpa jawaban. Masa sih, aku bau bangkai? Ngaco! Kurang ajar! Sembarangan saja. Gerutunya.
***
Saat jam istirahat, seperti biasa, Inah dan kedua karibnya, Siti dan Mumun, mojok di kantin sebelah kelasnya. Seperti yang sudah-sudah, setiap jam istirahat, ketiga karib itu punya jadwal nge-gosip-ria di sana sambil menyeruput es campur dan menyantap mie kuah.
“Sial benar aku hari ini,” Inah memulai pembicaraan. “Kenapa, dicuekin sama si ganteng Joko gebetanmu lagi?” sahut Siti. “Yee, bukan masalah itu,” sahut Inah seraya mengaduk-aduk sendok es campurnya. “Kalo itu sih, iya,” lanjut Inah.
Munah senyam-senyum. “Aku tebak nih, pasti kamu uring-uringan gara-gara belum kesampean beli Blackberry kayak punya si Tika yang sok narsis itu kan,” cetus Munah. “Yee, salah! Salah! Bukan masalah itu…,” timpal Inah. “Trus…,” sahut Siti, sambil menyendok es campur dan menyuapkan ke mulutnya pelan.
Lalu, dari bibir Inah mengalir cerita tentang Mak-nya yang tadi pagi heboh nyari bangkai di rumahnya. Padahal hampir satu jam lamanya, tak ditemukan apa pun, bahkan bangkai semut pun tak ia dapati. Inah juga cerita, saat Kepala Sekolah menuduh dirinya belum mandi. Dan yang paling membuatnya gondok, ia katanya bau bangkai.
“Kesel banget pokoknya aku hari ini,” pungkas Inah mengakhiri ceritanya. “Tunggu, tunggu…,” sahut Siti seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.
Munah terpaksa menurunkan sendok es campurnya yang sudah nempel di bibirnya demi menanti kalimat Siti berikutnya.
“Kok, kejadian yang kamu alami sama persis dengan yang menimpaku tadi pagi ya, Nah,” lanjut Siti dengan tatapan aneh.
“Masa, sih?” sahut Inah heran. “Ibu kamu nyari bangkai juga, Ti?” Munah ikut-ikutan menyela dengan ekspresi takjub. Siti meng-iyakan pertanyaan Munah dengan anggukan tegas.
“Anehnya, setelah aku, Ibu, Bapak dan kedua Abangku menggeledah seisi rumah, tak satupun bangkai ditemukan,” terang Siti.
Ketiga karib itu saling adu pandang dengan raut wajah mengheran.
Beberapa menit berikutnya...
“Hoek! Hoek!”
Munah yang barusan menyuapkan sendok mie kuahnya ke dalam mulutnya nyaris muntah. Siti dan Inah bersilekas meraih pundak dan tengkuk karibnya itu.
“Mun, ka… kamu sakit?” tanya Siti khawatir. “Ka… kamu… ngg.. nggak halim perdana kusumah kan, Mun…,” gumam Inah lirih, sementara pandangannya menyusuri seluruh ruang kantin yang kebetulan sedang sepi. “Ngawur!” sergah Munah mendelik sambil mencekik erat-erat batang hidungnya. “Lalu, kenapa kamu…,” kata Siti selanjutnya. “Nggak tau nih, kok tiba-tiba aku nyium bau bangkai, ya?” potong Munah sambil menutup hidung dan mulutnya.
Siti dan Inah saling bersitatap.
Lama.
Hingga kemudian hidung keduanya mendengus-dengus, seperti ada angin yang tiba-tiba saja mengembuskan bau yang tak aneh lagi. Ya, indra penciuman keduanya menangkap bau…, bangkai!
“I..iya, aku juga bau!” pekik Siti lantas dengan sigap membekap hidungnya.
Tak beda dengan Inah yang juga melakukan hal serupa. Dan, semakin lama, bau bangkai itu makin menyengat menusuk lobang hidung. Ketiga karib itu pun langsung terbirit ke toilet sambil menahan rasa mual yang tak tertahankan.
Sesampainya di toilet, ketiga karib itu langsung muntah bersamaan. Dan ketiganya langsung histeris dengan bola mata membeliak. Mereka kaget bukan kepalang, saat mengetahui muntahan yang keluar dari mulut mereka adalah potongan-potongan bagian tubuh saudara-saudaranya sendiri....
Sam Edy YuswantoCatatan: Halim Perdana Kusumah: banyolan anak-anak, maksudnya: hamil.