Senin, 31 Januari 2011

Satu Puisi

Dulu kukira akan banyak lelaki yang menulis puisi untuk aku. Ternyata sampai aku berusia 50 tahun, hanya kamu yang pernah melakukannya. Aku masih menyimpannya sampai sekarang…
Kalau saja email bisa bersuara, Tio, pasti terbuai oleh merdu kata-kata yang dirangkai dalam kalimat itu. Apalagi bila di benaknya terrekam suasana kampus Rawamangun tahun 1980-an, ketika mereka berdua masih berkuliah di sana. Masa-masa indah yang seperti baru terjadi kemarin. Suara-suara yang seperti tak mau hilang, terus bergema lagi. Penuh tawa di sela-sela derap langkah dan ketuk sepatu hak tinggi. Penuh canda di sela mengerjakan majalah kampus. Penuh ceria di sela-sela fotokopi bahan kuliah yang bertebaran di meja.
Saat kepala dibuat pening bahan kuliah, hutang paper yang harus dibuat, tapi juga sore yang santai dengan nongkrong di kantin, bercengkerama di taman yang asri atau perpustakaan yang senyap. Buku, pesta, dan cinta menjadi warna tersendiri  saat idealisme sedang membakar jiwa muda melalui demo anti Orde Baru yang dilakukan setiap saat. Saat the yellow jackets menjadi lambang perlawanan atas kediktatoran dengan gerakan mahasiswa yang membuncah juga di berbagai pelosok tanah air. Apa kabar, Rin?
Hanya kata itu yang dapat dia ketikkan dan tampak di layar kaca, ketika pintu komunikasi kembali terbuka berkat kemurahan hati teknologi modern setelah lebih dari sekitar 20 tahun tidak bertemu, apalagi berbicara. Sayup-sayup dia kembali mendengar ucapan rekannya, Adek, ya, mungkin 20 tahun lalu, tentang kabar gadis yang pernah ditaksirnya itu.
“Kamu sudah dengar belum. Rini katanya bercerai. Mungkin kamu perlu telpon untuk sekadar memberi dukungan moral,” kata Adek saat mereka bertemu secara tak sengaja. “Busyet. Apa urusannya.  Jadi pacar saja nggak pernah,” kata Tio. “Ya, namanya juga teman kena musibah. Kan nggak apa-apa.” “Aku ini lelaki beristri.”
Tio sempat menduga-duga apa yang terjadi dengan Rini. Tetapi pada beberapa kasus yang menimpa rekan-rekannya di kampus dan sempat jadi pembicaraan, penyebab utama perceraian adalah salah satu pasangan kuliah kembali di luar negeri. Berpisah dua-tiga tahun, di perkawinan yang masih relatif dini,  baru 2-3 tahun, mahligai belum lagi kokoh. Kedua pihak bisa tergoda untuk tidak setia. Ada yang rujuk lagi begitu pulang ke tanah air. Ada yang memilih berpisah karena perbedaan yang sudah begitu lebar.
“Buat apa aku pikirin. Setiap orang punya jalan hidup. Dan aku tidak berpretensi jadi penasehat perkawinan. Aku juga belum tentu mampu menghadapi godaan seperti itu,” katanya dalam hati, ketika ada dorongan di dalam untuk menghubungi Rini.
Alhasil memang tidak pernah terjadi komunikasi. Tio tidak berusaha mencari tahu keberadaan Rini sehingga keduanya tidak bertemu. Tuhan juga tidak menghendaki, rupanya. Belakangan Tio mendengar Rini tinggal di luar negeri, sudah menikah lagi dengan lelaki pujaan hatinya, yang konon lebih ganteng dari yang pertama. Dan yang penting mungkin, lebih bertanggungjawab.
Melihat gambarmu, aku masih merasakan ceria yang selalu kamu bawa. Cerdas dan penuh percaya diri. Juga cerewet. Tapi aku suka itu.
Muncul lagi kilas balik kuliah Pengantar Antropologi di lantai dua di benak Tio. Baru masuk dan meletakkan buku di meja, sang guru besar sudah mengeluarkan perintah. “Kita ujian. Ambil kertas,” katanya dengan suara kencang. Kita semua kaget—atau kamu tidak?—karena tidak menduganya.
“Pertanyaan nomor satu,” lanjutnya padahal ada yang masih bengong. Satu menit kemudian,” Pertanyaan nomor dua..” sampai kira-kira empat-lima pertanyaan. Lalu selang satu menit, ”Kumpulkan..” Kemudian gurubesar yang dijuluki killer karena banyak mahasiswa gagal lulus di mata kuliahnya memberikan pekerjaan rumah, membuat paper tentang topik atau istilah tertentu dari buku referensi yang hanya ada di perpustakaan.
Waktu memutuskan mengambil mata kuliah itu sebagai pilihan, Tio hanya sekadar ingin menambah wawasan selain angka SKSnya yang tinggi. Diajar seorang professor kenamaan juga membanggakan. Tapi belakangan yang membuatnya betah meski harus kerja ekstra keras adalah kehadiran Rini. Si anak professor yang pernah sekolah di luar negeri, pintar, menjadi daya tarik khusus. Dia kerap mengamati mahasiswa berambut sebahu itu dari bangkunya sambil mencatat ocehan dosen. Begitu pula bila tengah  beramai-ramai  mencatat terjemahan buku referensi sebesar bantal di perpustakaan, dia suka mencuri pandang Rini yang menjadi komandan rekan-rekan jurusannya. Belum ada cinta, sekadar suka, dan itu pun belum diucapkan. Karena terus terang, di fakultas sastra ada begitu banyak mahasiswi menarik, dengan berbagai pesonanya. Jadi bisa tiap hari jatuh cinta.
Maka suatu hari Tio yang mengasuh majalah kampus menuliskan perasaannya di salah satu halaman. Apalagi kalau tidak dalam bentuk puisi. Hanya saja agar tidak ketahuan, dia tambahi kalimat “kertas ini ditemukan redaksi terjatuh di sela-sela bangku sehabis kuliah professor…”.  Tapi belakangan Rini tampaknya tahu. Apalagi Tio sudah mulai cari gara-gara untuk ngobrol.  Bahkan untuk unjuk gigi, Tio, meminta agar Rini mengklipping sajaknya yang dimuat di Sinar Harapan dengan alasan,”Aku nggak punya duit buat beli korannya. Kalau kamu kan langganan,” katanya. Padahal maksudnya, supaya Rini terkesan bahwa dia benar-benar penyair muda yang punya reputasi.
Rio sendiri tidak pernah tahu apakah PDKT yang dilakukannya berhasil. Kalau diajak bicara, Rini ramah dan menyahut. Tapi kalau untuk jalan berdua, sulit sekali, karena dia selalu berjalan bergerombol bersama rekan angkatannya. Sulit ditembus. Dia juga pernah datang ke rumah, ngobrol sebentar sambil minum sirup sirsak, tapi bicaranya ya yang umum-umum saja. Mereka juga pernah bertemu dalam kemah bersama di Pantai Anyer, tetapi tidak ada terobosan dalam hubungan keduanya. Dalam arti, Tio kebingungan mencari cara yang tepat untuk “nembak”, tapi terhalang terus. Paling larinya, ya membuat puisi, atau cerpen. Aku jadi ingat bunga edelweiss itu.
Satu peristiwa yang selalu diingat Tio sampai sekarang apalagi kalau bukan cerita bunga edelweiss, berbulan-bulan setelah status hubungan yang tidak jelas itu.  Ceritanya Tio diajak Adek naik Gunung Gede agar tidak kalah jantan dibandingkan rekan mahasiswa dari jurusan yang banyak lelakinya seperti Arkeologi dan Antropologi. Maklumlah dia dan Adek dari jurusan bahasa. Maka berdua mereka jalan, dengan modal pengetahuan seadanya.
Dimulai dari naik bis  ke Cisarua, jalan kaki ke pintu kebun raya dan istirahat di Mandala Kitri sebelum memulai pendakian sehabis Isya. Karena malam itu banyak yang naik, tidak persoalan benar keawaman Tio. Mereka ramai-ramai melalui “jalur bypass”, meskipun harus terengah-engah karena tidak pernah melakukannya. Yang penting pada pagi hari, saat matahari baru saja terbit, mereka tiba di puncak gunung dan istirahat sebentar. Setelah itu turun ke hamparan bunga edelweiss yang menjadi tempat beristirahat banyak pendaki sambil menyedu kopi atau merebus supermie. Ito lalu memetik bunga-bunga putih yang indah karena keabadiannya itu, membungkusnya dalam kertas koran, memasukkan ke dalam plastic, lalu disusupkan di ransel.
Tak lama di sana, keduanya lalu turun, mendarat di dekat Pasar Cipanas. Seperti tidak ada rasa lelah, cari bus ke Jakarta untuk turun di Cililitan. Lalu melanjutkan dengan bis jurusan Tanjung Priok, berhenti di perempatan Utan Kayu. Jalan kaki ke asrama.
Sore itu, menjelang magrib, sehabis mandi, berpakaian rapi (rapinya ya berarti pakai T shit yang baru disetrika), Tio memberanikan diri datang ke rumah Rini, tidak jauh dari asrama. Satu paket bunga yang dia bungkus rapi dengan koran, hanya edelweiss saja yang menyembul, dia bawa dengan gagah berani.  Masuk pagar, Tio mengetuk pintu. Ternyata yang membuka, ayah sang gadis.
“Rini ada, Oom,” tanya Tio dengan suara tercekat. Tenggorokannya kering. “Dia sedang keluar. Ada apa?,” ujar tuan rumah. Kalimatnya ramah. Matanya memandang genggaman bunga yang ada di tangan Tio seperti menerka-nerka. Tio yang semula membayangkan diri sebagai Clark Gable yang gagah menyodorkan bungan ke gadis pujaannya, terpaku beku. “Ah nggak. Nggak apa-apa. Saya hanya mau menyampaikan bunga ini,” kata Tio kemudian. Lalu seperti masih dalam suasana tersihir dia menyorongkan bunga itu. “Oh iya. Terima kasih. Nanti Oom sampaikan,” ujar pria berkacamata itu. “Terima kasih,” balas Tio, lalu berbalik badan. Pulang. Lesu, harapannya untuk memberikan bunga sambil mengatakan sesuatu yang berarti, sirna. Dan momen itu seperti hilang selamanya. Lucu, kayaknya nggak pernah mulai tapi langsung terputus…
Sehari setelah adegan itu, Tio dan Rini bertemu, tetapi tampaknya tidak ada sesuatu yang istimewa. Cewek itu hanya menyampaikan terima kasih atas pemberian bunga. Dia berjanji akan mencarikan vas yang bagus, ditaruh di buffet di ruang tamu, agar setiap hari bisa dipandang. Itu saja. Kamu tidak tahu ya aku suka sama kamu? ingin Tio menyatakan. Tapi lagi-lagi tenggorokannya seperti tersekat. Sampai suatu hari, cinta yang tak pernah tersambung akhirnya putus. Rini tersinggung karena Adek yang merasa berkepentingan akan penderitaan Tio, ikut campur dalam urusan mereka. Adek meminta agar Rini serius membuka hati, menerima Tio sebagai kekasih.
“Ada urusan apa Adek bicara tentang hubungan kita,” kata Rini setengah marah, setelah mengajak bicara Tio di sebuah ruangan, sehabis kuliah. “Kalau kita pacaran, ya urusan kita sendiri. Bukan hak dia untuk ngomong harus begini harus begitu.” “Nggak tahu. Aku hanya cerita soal kamu. Mungkin dia insiatif sendiri,” kata Tio terbata-bata, karena sungguh-sungguh tidak tahu aksi rekan baiknya itu.
Hening. Ruang besar yang kerap dijadikan arena pertunjukan itu seperti beku. Satu dua mahasiswa yang melintas, pura-pura tidak melihat. Keduanya lama terdiam, seperti kehabisan kata.
“Mungkin hubungan kita hanya sampai di sini,” kata Tio akhirnya, lalu pergi melangkah keluar. Rini pun pergi dengan terdiam. Mungkin bingung, hubungan tidak pernah ada, tapi dikatakan diakhiri. Mereka masih berteman, masing-masing kemudian pacar. Tio berpacaran dengan teman sekampus, Rini dipacari anak Salemba, istilah untuk mahasiswa FK, FKG, FE, FT, dan FMIPA yang sering cari “mangsa” di Rawamangun yang dihuni mahasiswa FS, FH, FISIP, dan Fakultas Psikologi. Baru-baru ini, tepatnya tahun lalu, aku juga menulis puisi tentang kamu. Mudah-mudahan kamu suka. Kalau mau, akan aku kirim via email.
Dia lalu mengingat puisi-puisi yang dulu dibuatnya untuk, entah sekadar luapan perasaan, atau sebagai jerat cinta bagi orang yang disukainya—tidak peduli itu diterima atau bertepuk sebelah tangan. Luar biasa. Satu puisi kini mengayun-ayunkannya dalam kenyamanan yang sulit digambarkan. Tio masih mendengarkan lagu seraya memandang layar komputer yang seperti terowongan waktu ke masa mahasiswanya.
Bergetar hatiku saat kuberkenalan dengannya. Kudengar dia menyebutkan nama dirinya. Sejak kubertemu kutelah jatuh hati padanya. Di dalam hati telah menjelma cinta dan bawalah daku selalu dalam mimpimu , di langkahmu serta hidupmu...” begitu alunan suara Vina Panduwinata. Ah..
Jakarta, Februari 2010

Perjalanan Sebuah hati

Aku berjalan perlahan mendaki puncak bukit yang di atasnya terdapat bangunan megah serupa istana. Dari kejauhan warnanya nampak kemilau indah memancarkan cahaya, seperti layaknya tatahan intan permata berkilauan, setiap mata pasti kan terpukau bila melihatnya. Di sekililingnya terdapat empat menara tinggi berkubah emas. Bangunan itu seolah magnet yang mempesona sehingga menarik kumparan-kumparan jiwaku untuk bergerak menapak ke sana.
Jalanannya semula landai, namun setelah sekitar seribu langkah kuayun, jalanan tersebut berubah sedikit terjal dan mulai berkelok. Pohon-pohon berdaun rimbun dan berbuah lebat disekeliling jalan, sesekali kunampak tanaman-tanaman bunga tumbuh liar tak beraturan berbaur dengan rerumputan dan rumpun ilalang.
Langit berwarna cerah, meski ada beberapa awan putih bergelayutan serupa sekumpulan domba-domba bebulu putih yang bencengkerama di padang biru. Matahari mulai condong ke barat tetapi sinarnya masih belum menguning. Angin segar dari atas bukit meniupkan aroma wewangian kembang setaman. Sepasang burung Jalak putih hinggap di pucuk pinus, bersiul menyenandungkan kicauan asmara. Aku terus saja berjalan sembari menikmati indahnya alam disekitarku.
Di sebuah tikungan jalan kudapati seorang lelaki kurus kering berbalut baju lusuh dan compang-camping, duduk bersandar dibawah rindangnya pohon Asem, kulit mukanya terlihat pucat dan keriput, bibirnya kering dan pecah-pecah seperti seorang yang telah lama dilanda kelaparan hebat. Kedua kakinya terlihat lemah sepertinya lumpuh. Kuberanikan diriku untuk menyapanya mencoba mencari tahu siapa dirinya.
“Wahai pak tua, siapakah engkau berada sendirian di sebuah perbukitan yang asing ini ?”
Dia tak menjawab, justeru sebaliknya dia bertanya kepadaku:
“Dan kau anak muda siapakah dirimu dan apa sesungguhnya yang sedang kau cari hingga kau mendaki di sini?”
“Ah kau pak tua, kau belum jawab pertanyaanku dan kau justeru bertanya balik kepadaku !” sanggahku sedikit jengkel.
“Aku tak akan menjawab pertanyaanmu sebelum kau jawab pertanyaanku !”, dia balik menyanggah.
“Baiklah-baiklah, akan kujawab dulu pertanyaanmu!” aku akhirnya mengalah.
“Namaku adalah Niat, aku mendaki bukit ini karena hendak menuju istana megah diatas bukit sana “, terangku kepadanya.
“He, he , he!” dia tertawa terkekeh.
“Kau tak akan mampu mendaki kesana, kecuali jika kau mau menggendongku bersamamu pergi kesana!” dia meneruskan katanya sambil terus terkekeh.
“Hah apa?”
“Aku harus menggendongmu pula, sedang untuk berjalan sendiripun kakiku mulai berat sedang didepan sana jalan semakin terjal!” aku menolak keinginannya
“Ketahuilah wahai Niat namaku adalah Ikhlas, aku akan memudahkan dan meringankan jalannmu dalam mendaki bukit ini," dia menerangkan namanya padaku.
“Tidak-tidak, aku tidak akan mau menggendongmu, aku tidak akan melakukannya, aku tak sanggup membawamu," jawabku sambil terus berlalu darinya.
"He, he , he, kau tidak akan mampu Niat, tak akan pernah mampu tanpa bantuanku!” teriaknya sambil terus terkekeh.
Tak kuperdulikan teriakannya, aku terus berjalan menjauhinya menuju puncak bukit yang hendak kutuju.
********
Jalanan benar-benar mulai terjal dan menyempit, sesekali kakiku terpeleset dan terjatuh oleh tanah yang licin, mencoba untuk tegar aku lalu bangkit dan meneruskan perjalanan. Seribu langkah kira-kira telah kuayun hingga aku sampai di tikungan kedua.
Di atas sebuah batu besar berwarna kehitaman, berbaring lemah seekor anjing bermata buta yang bulunya hampir gundul karena borok-borok bernanah diseluruh tubuhnya. Bau busuk menyengat tercium dari boroknya. Aku bergegas menjauh sambil kututup hidungku sebab bau busuk tubuhnya menusuk hidungku.
Diluar dugaan tiba-tiba di berbicara kepadaku,
“Wahai Niat, kenapa kau begitu tergesa-gesa berhentilah sejenak disini, dengarkanlah ceritaku barangkali kau membutuhkanku!”
“Hey bisa bicara rupanya kau, wahai anjing buta berbau busuk!” kataku setengah terperanjat, terheran-heran mendengar anjing yang bisa berbicara.
“Dari mana kau tahu namaku wahai anjing?” tanyaku sambil bergidik karena jijik.
“Tak perlu kau tahu darimana aku tahu namamu, bahkan kemana tujuan perjalananmupun aku telah mengetahuinya," jawabnya datar.
“Jadi kalau kau tahu kemana tujuan perjalananku memangnya apa yang kau inginkan?” tanyakau lagi.
“Dengarlah wahai Niat, namaku adalah Hidayah, aku bisa menuntunmu serta menunjukkan jalan pintas yang terbaik bagimu agar bisa sampai ketujuanmu dengan selamat," dia mencoba menjelaskan.
“Hah bagaimana mungkin kau akan menuntunku sedang matamu sendiripun buta!” sergahku.
“Percayalah aku bisa dan pasti bisa karena ini adalah tugasku," terangnya lagi.
“Aku tidak perlu bantuanmu, mataku awas sedang kau buta, dan lagian aku tak sanggup mencium bau busuk tubuhmu!” dengan tegas aku menolaknya.
Lalu aku ngeloyor pergi sembari terus menutup lubang hidungku, kuabaikan dia memanggil-manggil namaku, aku terus saja berjalan tanpa menoleh lagi.
********
Pendakianku semakin tinggi keatas, angin dari atas bukit mulai keras menerpaku, bersama kabut senja yang gemulai turun merambah lereng-lereng perbukitan. Angin dan kabut berpadu mengirimkan hawa dingin menusuk kulitku. Matahari mulai kemuning pertanda senja sebentar lagi akan beringsut pulang berganti malam datang menjelang.
Aku terus saja berjalan, dingin di kulitku tak kurisaukan, yang ada hanya keinginan kuat agar segera sampai di puncak bukit dan beristirahat di istana megah yang kutuju. Warna kubah menara semakin terlihat kuning keemasan ditimpa oleh sinar matahari yang kemuning, aku benar-benar terpesona kusegerakan langkah mengayun kesana.
Aku terperanjat kaget mendengar sebuah teriakan dari seekor bekicot yang sedang berada di tengah jalan dan hampir-hampir saja tanpa sengaja terinjak oleh kakiku.
“Hei Niat, pelan-pelankanlah jalanmu jangan kau tergesa-gesa!” begitu dia berteriak menegurku.
Lalu aku duduk membungkuk, dengan penuh ketakjuban kuperhatikan tubuh kecil bekicot itu, dan keajaiban apa yang membuatnya bias berbicara layaknya manusia.
“Kau sedang berbicara padaku wahai bekicot kecil?” tanyaku kepadanya.
“Iya aku berbicara padamu karena aku ingin memberikan sebuah nasehat kepadamu!” katanya
“Apa yang hendak kau nasehatkan padaku wahai kawan kecil?” tanyaku lagi.
“Pelan-pelankanlah langkahmu, jangan kau tergesa-gesa, agar kau bisa sepenuhnya menikmati perjalananmu hingga sampai di tujuanmu nanti," begitu nasehatnya padaku.
“Kenapa aku mesti memelankan jalanku, sedang hasratku ingin segera sampai dipuncak bukit ini dan tinggal di istana yang megah menawan itu," bantahku.
“Tenanglah tak perlu tergesa-gesa, kuperkenalkan padamu aku adalah Sabar, berjalanlah bersamaku di sampingku, mari kita nikmati perjalanan ini bersama-sama, lihatlah dan perhatikanlah betapa indah alam disekeliling lereng bukit ini," si bekicot kecil bernama Sabar itu melanjutkan nasihatnya.
“Mana mungkin aku berjalan berdampingan denganmu, kau berjalan begitu lambat, sedang aku ingin segera sampai di istana itu!” aku terus menolaknya.
“Dengarkanlah nasehatku sobat, jikalau kau selalu terburu-buru kau justeru tak akan sampai ke istana itu," dia terus berupaya menasehatiku.
“Tidak, pokoknya aku ingin segera sampai di puncak bukit dan menikmati indahnya istana yang megah itu," sambil berkata demikian lalu aku bergegas pergi, meninggalkan si bekicot kecil itu tertatih-tatih berjalan merambat ditengah jalan.
********
Bangunan serupa istana megah dan indah diatas bukit itu perlahan-lahan mulai terlihat jelas menggoda hatiku, langkahku semakin kupacu tak sabar untuk segera sampai di sana. Kabut tipis putih yang menyelimuti puncak bukit itu tiba-tiba menggumpal-gumpal kehitaman. Semakin lama semakin menebal sehingga jarak pandangku menjadi terhalang. Matahari telah menyusup jatuh ke pembaringannya, langit kemuning berubah menjadi gelap dan hitam. Pandangan mataku semakin kabur dibekap gelap yang pekat.
Aku tetap nekat terus berjalan, hasratku tetap memburu agar segera sampai di istana puncak bukit itu. Dengan bekal naluri yang kupunya kupastikan melangkah ke suatu arah yang kuyakini menuju ke puncak bukit itu. Langkahku kupercepat, tak kuperdulikan segala gelap yang menggelayut didepan mataku. Aku terus berjalan hingga sampai di suatu tempat lamat-lamat kulihat bayangan istana megah itu muncul dibalik awan gelap. Lalu aku berlari dengan kencang menuju bayangan itu. Aku akan sampai, aku akan sampai, aku akan sampai teriakku dalam hati.
Pintu besar istana megah itu samar-samar terlihat dalam temaram, aku terus berlari menuju kearahnya, semakin dekat, semakin dekat, semakin mendekat. Hingga pada akhirnya setiba di depan pintu yang kukira pintu istana itu, akupun meloncat masuk.
Dan……..
Tubuhku seperti terdorong dengan keras, terperosok masuk kedalam lubang besar yang gelap dan pekat. Melayang kencang tersedot dalam pusaran gelap berlapis-lapis. Terus melayang hingga akhirnya terjatuh menghujam dengan deras kedasar jurang. Tubuhku terasa remuk redam, lemah lunglai tak berdaya. Lamat-lamat kudengar suara-suara berbisik ditelingaku, suara-suara yang pernah kudengar sebelumnya, suara-suara itu terus menerus bertalu-talu ditelingaku.
Suara-suara si Ikhlas, suara-suara si Hidayah dan suara-suara si Sabar, silih berganti terngiang-ngiang ditelingaku:
“Bukankah telah kuperingatkan engkau?”
“Bukankah telah kunasehati engkau?”
“Bukankah telah kuberitahu engkau?”
“Mengapa engkau tak mau mendengar?”
Doha, 10 Desember 2010

DUA SISI KEHIDUPAN

“Bu, lapar, Nisa pengen makan nasi,” rintih bocah perempuan enam tahun yang duduk berselonjor kaki sambil kedua tangannya menggelayuti lengan ibunya.
Perempuan yang terlihat lebih tua dari usia sebenarnya itu hanya menatap perih anak perempuannya yang semenjak Magrib hingga malam itu hanya sarapan roti seribuan dua bungkus dan terpaksa minum air mentah tak begitu bening yang diciduknya dari kulah sebuah masjid yang terhampar di ujung kota. Padahal, semalam ibu dan anak itu terpaksa tak makan sahur. Bukannya telat bangun, tapi, tak ada makanan apapun yang bisa buat mengganjal perutnya. Hanyalah sisa air mineral saja di botol plastik yang bisa ia teguk sekadar mengusir dahaga.
Tak ada kalimat yang terucap dari bibir perempuan yang pucat, kering dan sedikit pecah-pecah tersebab seringnya dipanggang terik sang mentari. Rasanya ia telah membosan berulangkali mengucap menjanji akan membelikan anaknya sebungkus nasi. Dan janji-janji itu hanyalah tinggal janji belaka tanpa berbuah bukti, persis janji manis para pejabat kelas tinggi yang hobi ingkar janji itu. Nyaris seharian perempuan itu mengemis di ujung stasiun, namun penghasilan hari itu hanya cukup untuk membeli roti murahan saja.
Garis hidup yang mesti dijalani perempuan usia dua puluh delapan tahun bersama anak perempuan semata wayangnya itu memanglah sangat keras dan berliku. Suaminya, yang kerja sebagai buruh bangunan, tewas mengenaskan tertimpa reruntuhan tembok yang baru dibangunnya, lima bulan lalu.
Beberapa bulan kemudian, perempuan malang itu terpaksa pergi meninggalkan rumah kontrakannya yang sempit dan pengap. Bukan hendak menghuni rumah baru yang lebih layak huni. Namun ia diusir sang pemilik kontrakan tersebab tiga bulan sudah tak sanggup membayar biaya kontrakannya. Mau pulang ke kampung halaman di Kebumen, tak ada ongkos jalan. Seandainya pulang kampung pun toh perempuan itu sudah tak ada kerabat dekat. Kedua orangtuanya telah lama meninggal dan tak pernah mewariskan apa-apa, kecuali gubuk reyotnya yang telah ambruk tergerus masa. Ikut numpang tingal di rumah mertuanya, jelas itu tak mungkin. Karena ia adalah menantu yang tak pernah diinginkan kehadirannya sedari dulu.
Semenjak itulah, ia hidup terlunta-lunta di pinggir jalan. Mengais rejeki dengan berbagai cara. Memulung botol dan gelas plastik bekas yang tercecer di pinggir jalan dan tong sampah untuk ditukar rupiah, hingga mengemis di terminal, stasiun dan perempatan lampu merah sambil kedua tangannya menadah pada para pengendara mobil-mobil mewah. Walau aksinya mengais rupiah dilakukannya secara sembuyi-sembunyi tersebab belum lama ini telah terhunus sebuah peraturan baru yang telah sah tertandatangani oleh para pejabat di kitab-kitab negara; di larang mengemis di jalanan dan bagi sesiapa yang nekat mengemis atau memberi uang pada pengemis, maka tindak pidana akan menjemputnya.
Lalu, jika senja mulai beringsut dan menjelma kegelapan, ia dan anak perempuannya tersaruk-saruk mencari tempat berteduh sekadar buat merebahkan tubuh yang terasa loyo dan payah setelah seharian bergulat mencari nafkah. Di emper toko, bawah jembatan, pinggiran terminal atau stasiun dan di mana saja asalkan ada sedikit tempat untuk istirahat barang beberapa jenak, tak jadi soal. Tak jarang tengah malam mereka terjaga dadakan dengan teriakan kawan-kawan senasib sepenanggungan. Dengan nyawa yang masih belum mengutuh sempurna di badan, ibu dan anak itu pun tergopoh menyelamatkan diri dari kejaran para petugas keamanan bertampang garang.
(21.15 WIB) di sebuah rumah mewah, kawasan perumahan elite di Jakarta
“Sayaaang! Buruaan..! Papa udah nunggu di mobil, tuh!” seru perempuan paruh baya yang masih terlihat muda dengan gaya dandanan tak mau kalah dengan anak remaja. Gurat-gurat kecantikan masih jelas tergores halus di raut wajahnya yang terpoles kosmetik berkelas. Sementara bibirnya yang masih kelihatan seksi pun nampak makin ranum dengan polesan listick warna pink.
“Iya, Ma, sebentar, lima menit lagi!” balas si anak yang masih sibuk merapikan rambut lurusnya di balik kamarnya dengan teriakan pula.
Lima menit berlalu, pintu kamar pun terkuak. Sesosok gadis belia usia enam belasan, berkaos ketat warna putih dipadu jaket hitam dengan resleting sengaja dibiarkan terbuka, celana penlis hitam, sepatu high heels hitam mengkilat, berjalan pelan sambil menuruni anak tangga. Tangan kirinya menenteng tas kulit minimalis warna hitam harga jutaan yang dibelinya saat shooping bareng Mamanya di sebuah mall terbesar di Jakarta. Sementara tangan kanannya mencengkeram Blackberry hitam, hadiah dari papanya beberapa waktu lalu saat baru diangkat menjadi pejabat tinggi sekelas menteri.
Sementara di sebuah garasi, tampak papanya sedang asyik menikmati empuknya jok mobil dinas terbaru Toyota Crown Royal Saloon yang baru dikirim pemerintah beberapa bulan yang lalu. Katanya sih sebagai bentuk penghargaan dari negara kepada para pejabat, agar bisa melaksanakan tugasnya dengan lebih baik dan bersemangat. Walau tetap saja, seminggu setelah acara pelantikan itu, semuanya berjalan kembali seperti semula. Lelaki paruh baya itu kembali pada kebiasaan lamanya; suka membolos kerja dan baru hadir jika ada sidang paripurna saja. Sesekali lelaki paruh baya itu memencet-mencet tombol AC, lalu mengelus-elus setir mobil dan kaca jendela yang halus nan mengkilat sambil mendengarkan musik favorite-nya; Kenny G. Di sebelahnya, istri pejabat penting sekelas menteri yang doyan berdandan itu nampak sibuk sendiri memencet-mencet tombol-tombol mulus Blackberry-nya.
Sekian detik kemudian, gadis belia dengan kostum anak muda gaul pun muncul, lalu membuka pintu mobil belakang dengan mengembangkan senyum termanisnya. “Oke, Pa, Ma. Kita berangkat sekarang yuk, Aurel udah lapar nih,” katanya sambil menutup pelan pintu mobil. “Pak Darmin, tolong jagain rumah, ya. Jangan lupa, kunci semua pintu,” pesan  perempuan paruh baya, istri pejabat sekelas menteri itu pada Darmin, tukang kebunnya. Tak berapa lama setelahnya, mobil mewah itu pun melaju pelan, nyaris tanpa suara. Hmmm, maklum lah kalau suara mesinnya begitu halus dan mulus semulus body-nya, namanya juga mobil mewah yang harganya saja – katanya – mencapai Rp 1,3 miliar.
(22.45 WIB) di sebuah emper ruko di Jakarta
“Tramtib! Tramtiiib!” teriak seorang anak perempuan usia belasan tahun yang sedang berlari bergandengan tangan dengan bapaknya. “Mbak, Mbak! Bangun, ada tramtib tuh!” bapak itu sempat berhenti sebentar, sambil mengguncang-guncang pundak seorang perempuan yang tengah pulas mengeloni anak perempuannya di sebuah emperan ruko.
Begitu terjaga, perempuan itu langsung memaksa bangun anaknya yang sedang lelap bersama mimpi-mimpi indahnya. Lantas gegas berlari sambil menyeret tangan anaknya yang telah terlatih berlari cepat layaknya peserta lari maraton yang telah berkali-kali menjuarai lomba lari. Untung saja, bapak-bapak tadi membangunkannya. Kalau tidak, tentu perempuan yang terlihat lebih tua dari usianya itu akan tertangkap basah bersama anak perempuan semata wayangnya.
(23.15 WIB) di sebuah restoran mewah di Jakarta
“Dihabiskan jusnya dong, sayang,” kata perempuan paruh baya pada anak gadisnya. “Aurel udah kenyang, Ma,” sahut si gadis tanpa sedikit pun menoleh ke mamanya, rupanya ia tengah konsentrasi membuka-buka Facebook melalui Blackberry-nya. “Papa juga, tuh habiskan gurameh-nya, sayang kan kalau disisain, mubazir, Pa,” “Papa juga udah kenyang, nih,” sahut Papa sambil menyulut rokok kreteknya. “Pa, kata teman-teman arisan Mama, katanya gaji para pejabat mau naik lagi. Bener, Pa?” tanya Perempuan paruh baya itu sambil meletakkan handphone-nya di meja. “Iya, Ma. Mungkin seminggu lagi.” “Besok kalau gajinya turun, Mama beliin perhiasan ya, Pa,” “Loh, minggu lalu kan Mama baru beli,” “Ya, kan Mama kepingin nyari model terbaru, Pa. Malu kan sama teman-teman arisan kalau perhiasan yang Mama pakai itu-itu terus,” “Pa, Aurel juga ntar beliin baju, ya. Baju-baju Aurel udah pada nggak muat soalnya,” sahut anak gadisnya yang masih asyik mencet-mencet Blackberry-nya. “Iya, iya, Papa pasti beliin besok, jangan kuatir,” balas Papa sambil mengembuskan rokok kreteknya pelan. “Pa, udah malam, nih. Kita pulang sekarang, Pa. Ntar kemaleman,” ujar perempuan istri pejabat itu sambil menyedot es jus alpukatnya.
Beberapa tempo kemudian, setelah mengangsurkan beberapa lembar kertas ratusan ribu rupiah demi sebuah makan malam di restoran berkelas yang biasa disambanginya itu, keluarga pejabat setingkat menteri itu pun gegas menuju mobil mewahnya dan meluncur pelan menuju rumah megahnya di salah satu kawasan perumahan elite yang cukup terkenal di Jakarta.
(23.55 WIB) di samping restoran mewah di Jakarta
“Alhamdulillah!” pekik perempuan yang raut wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Kedua matanya mendadak membinar penuh suka cita saat menemukan sisa-sisa nasi dan separoh badan ikan gurameh di tong sampah, di samping sebuah restoran mewah yang sudah tutup. Dengan sigap, ia mencomoti sisa-sisa nasi yang sepertinya belum basi itu. Lalu dimasukkannya ke dalam kantong kresek kecil yang tercecer di dekat tong sampah tersebut.
“Nisa, ibu bawa nasi nih,” perempuan yang wajahnya mengguratkan kelelahan itu membangunkan anak perempuannya yang tengah duduk menekuk lutut terkantuk-kantuk bersandar tembok sebuah bangunan pertokoan, tak begitu jauh dari restoran mewah itu. Begitu mendengar kata ‘nasi’ Nisa langsung tergeragap, lantas reflek mengucek-ucek kedua kelopak matanya yang kusam. “Ibu beli nasi?” Nisa menatap ibunya setengah tak percaya.
Perempuan itu menjawabnya dengan anggukan. Senyum terkembang pun langsung tergores dari bibirnya yang pucat. Lalu, dibukanya bungkusan kresek kecil yang disodorkan ibunya. Ia pun kembali menggoreskan senyuman. “Alhamdulillah, Bu. Akhirnya Nisa bisa makan nasi juga,” ucap gadis kecil yang lugu itu sambil menyuapkan nasi ke mulutnya dengan begitu lahapnya. “Kok ibu nggak ikut Nisa makan,” gadis itu menatap polos ibunya yang tengah begitu lekat memandanginya. “Ibu sudah makan, kok. Ayo, buruan dihabiskan, setelah ini kita cari tempat yang aman buat istirahat,” ujar ibunya sembari mengembangkan senyum yang sebenarnya terasa pahit karena menahan perut yang terus melilit. Tak apa aku menahan lapar, asalkan perut anakku bisa kenyang, batin perempuan itu menahan kepedihan. ****Sam Edy Yuswant

DIMENSI TANPA WAKTU

 Hari terakhir. Saya berharap ini benar-benar hari terakhir. Tiada lagi esok. Tiada lagi terbitnya mentari di pagi hari. Tiada lagi asa yang akan dinanti. Hari terakhir. Sayang, hari terakhir ini bukanlah benar-benar hari terakhir. Hanya tertanggal 31 Desember 2010. Nanti malam pergantian tahun. Dan, ya, sekarang hari terakhir. Terakhir di tahun ini.  Detik bergulir, dari menit ke menit, tinggal beberapa jam lagi, hari terakhir ini kian berakhir. Bisakah berhenti sebentar? Sebentar saja saya memohon. Ada yang tertinggal di belakang. Bisakah saya menjemputnya lalu saya bawa berlari ke hari ini, hari terakhir? Bukan! Bukan menjemputnya! Saya tak akan membawanya sampai ke sini. Saya hanya perlu kembali ke belakang. Ada yang tertinggal, memang, tapi untuk memperbaikinya. Biar tak ada penyesalan menggunung yang saya rasa ketika hari terakhir ini berakhir. Bisakah? Bisakah, Tuhan?
Ah, ini masalah saya dan waktu. Bukan masalah saya dengan Tuhan. Tapi, bukankah Tuhan pemberi waktu? Lupakan! Saya hanya ketakutan. Pantas saja saya memohon pada-Nya. Ketakutan bahwa saya manusia berlumpur salah. Hari terakhir ini, kesalahan itu kian menghantui, di saat hari terakhir semakin berakhir. Beberapa jam lagi. Tak ada yang berubah. Kesalahan itu kian menyesak dada saya. Tak ingin begini. Jadi, bolehkah saya berharap ini benar-benar hari terakhir? Musnahkan segalanya. Waktu terpakai percuma. Tak ada yang akan berubah lagi. Hanya kesalahan yang mengubah saya, menjadi saya tanpa asa. Hari ini hari terakhir. Jika saya tak bisa kembali ke waktu itu, jika waktu tak bisa berhenti sebentar, jika sesuatu yang di belakang itu kian membenamkan saya ke dalam penyesalan, maka biarkanlah saya jadikan hari ini benar-benar hari terakhir. Bukan bagi siapa-siapa, cuma bagi saya.
Hari ini hari terakhir, di tahun ini. Esok tiada yang tahu. Mungkin hari ini benar-benar hari terakhir. Tiada esok. Harapan-harapan sirna. Esok memang tiada yang tahu. Percuma saja segala asa. Saya tak akan berubah. Tak ada yang akan berubah. Sesuatu yang di belakang telah mengubah segalanya menjadi tak berubah. Hari ini hari terakhir. Benar-benar terakhir bagi saya. Selamat tinggal. *** Saya terbangun. Di suatu tempat penuh cahaya. Menerangi, pun menyilaukan. Tercium wangi semerbak. Alunan kepak sayap kupu-kupu. Mengitari bunga yang terkembang. Kabut-kabut di sekitar saya, tak ada penampakan apa-apa, selain cahaya yang benderang dan seekor kupu-kupu bertengger di kelopak bunga yang entah apa namanya. Di mana saya? Kupu-kupu berwarna putih, pernahkah kau lihat? Ia terbang mengelilingi kepala saya. Saya menolehkan kepala ke mana pun ia terbang. Memperhatikan kupu-kupu berwarna putih. Ingin saya bertanya, di mana saya? "Kau tak di mana-mana," suara lembut entah dari mana. Suara yang tak asing. Siapa yang bicara. Kupu-kupu itu masih terbang ke sana ke mari mengitari kepala saya. Suara iakah? Kupu-kupu bicara bersuara?  Suara hati saya terdengarkah olehnya, siapa pun yang menjawab itu? "Siapa kau?" tanya saya penasaran.  "Kenapa kau datang ke sini, anak muda?"
Benar kupu-kupu itukah yang bicara? Bodoh sekali pertanyaannya. Saya bahkan tak tahu tempat macam apa ini. Tanah yang saya pijak terasa dingin. Kabut-kabut putih menyelimuti. Hanya saya, sekuntum bunga berwarna putih yang menjulur dari dalam tanah merah, seekor kupu-kupu yang juga berwarna putih yang terus mengepakkan sayapnya.
"Kau kebingungan? Tidak usah bingung, anak muda. Kau sedang berada di satu dimensi yang tak akan dikunjungi siapa pun. Hanya kau. Dalam mimpimu, dalam dimensi tanpa waktu." "Oh, saya hanya sampai ke dunia mimpi? Dimensi tanpa waktu? Hahaha... Saya gila. Kau juga sudah gila, kau siapa pun yang berbicara." Saya memendarkan tatapan ke mana-mana. Berharap sosok yang berbicara itu muncul, bukan kupu-kupu itu. "Aku sudah dari tadi di sini, di dekatmu. Kau tak perlu mencari-cari lagi siapa yang bicara padamu. Perhatikan kepala mungilku, anak muda! Tak bisakah kau lihat ada yang bergerak-gerak di bawah mataku?" "Suaramu seperti suara ibu saya! Tak mungkin seekor kupu-kupu menyamai suara ibu." "Suaraku memang begini,” dalih si kupu-kupu. “Anak muda, kau sudah sampai di sini. Kau tak akan ke mana-mana lagi. Di sinilah akhirmu, bersamaku, di sini, tempat yang dingin ini. Tak ada kehangatan. Kecuali..." Memang ia, kupu-kupu yang berbicara. Ia bertengger di mahkota bunga. Saya perhatikan kepalanya, ada yang bergerak-gerak di bawah matanya ketika suara-suara itu terdengar di kuping saya. "Kecuali apa?" tanya saya. Berada di tempat yang entah apa, tak akan membuat saya lebih berbahagia daripada hari yang lalu di sana, dunia nyata. Saya ingin segera keluar dari sini, walau suara seperti Ibu yang saya rindukan terdengar begitu merdu lewat kupu-kupu itu. Atau saya tak perlu pergi dari sini? Akankah beberapa saat lagi kupu-kupu itu menjelma ibu? Saya memang rindu ibu. "Kupu-kupu putih yang manis, saya rasa saya akan betah di sini. Jadi, biarlah jika memang ini tempat terakhir saya," saya sumringah. Kupu-kupu itu langsung terbang gesit tepat ke depan hidung saya, hinggap di ujung hidung mancung turunan dari ibu. "Kau bodoh, anak muda! Aku tahu kau hilang arah, kau tersesat di belantara kegelisahanmu. Kesalahan yang terus membayangimu. Kesalahanmu itu memang kebodohanmu. Dan kau semakin bertambah bodoh bila kau pikir kau tak bisa berubah! Camkan, anak muda! Anak muda sepertimu adalah kegelisahan, namun derap langkahmu adalah perubahan.*"
Emosi saya bergejolak. Kupu-kupu apa yang bicara menggelegar seperti itu? Seperti ibu saya yang bijak ketika marah, berbicara dengan tegas, namun suaranya tetap menyamankan. Antara marah, antara rela diceramahi oleh seekor kupu-kupu. "Kau yakin ingin berakhir di sini, dalam dimensi tanpa waktu, tanpa apa pun selain aku si kupu-kupu? Hanya berada di dunia mimpi?" tanya kupu-kupu itu begitu lirih. Seakan memaksa saya menjawab tidak. Saya pandangi berkeliling, tak ada apa-apa, tiada sesiapa. Apa ujung dari dimensi tanpa waktu ini?
Bukankah saya ingin waktu berhenti? Permohonan saya dikabulkan Tuhan? Tapi, tak seperti ini yang saya inginkan. Saya ingin kembali ke masa itu, ketika saya mendengar kata ibu. Mata saya terasa panas, akan ada yang pecah. Sebuah tangisan. Saya terisak. “Anak muda, bergeraklah! Biarkan kesalahanmu mendewasakanmu. Lenyapkan kegelisahanmu dengan melangkah maju. Jangan kau tenggelamkan dirimu dalam penyesalan, anak muda. Ia di sana sudah baik-baik saja.” “Ia? Siapa?” selidik saya terpancing kata-katanya. “Ibumu,” jawab kupu-kupu. Saya tak percaya. Bagaimana kupu-kupu itu tahu? “Anak muda, maafkanlah kesalahan yang dulu. Ibumu tak ingin kau berhenti, ataupun kembali ke masa sebelum kesalahan itu terjadi. Ibumu pun tak ingin kau ada di sini. Ibumu tak ingin kau berharap aku akan menjelma jadi ibumu. Ibumu ingin kau pergi dari dimensi tanpa waktu ini.” “Ibu.. kaukah yang berbicara? Kenapa kau menjadi kupu-kupu, ibu?” “Sudahlah, anak muda, kau sudah berakhir di sini jika benar kau menginginkan ini. Tapi kau masih bisa pergi, asalkan kau berjanji...” “Tidak! Saya tak ingin pergi. Saya ingin di sini. Saya percaya, saya akan bertemu ibu di tempat ini. Saya hanya perlu menunggu, ‘kan?”
Kupu-kupu kembali hinggap di atas mahkota bunga. Sepertinya ia kelelahan meladeni omongan saya. Biarlah. Saya hanya menunggu beberapa saat lagi sampai kupu-kupu itu menjelma menjadi ibu. Ya, entah berapa detik, menit, bahkan berhari-hari. Saya akan menunggu itu.
“Ingat, anak muda, kau sekarang berada di dalam dimensi tanpa waktu!” Suara kupu-kupu itu lagi. “Aku adalah kupu-kupu istimewa. Aku bukan jelmaan si ulat dan kepompong. Aku hanya tercipta begini. Aku pun nanti tak akan menjelma ibumu.” Ia mendengar kata batin saya. Benar ia kupu-kupu istimewa.
“Begitu juga bunga ini. Ia tak berasal dari benih apa pun. Ia tak akan layu lalu bertumbuh bunga yang baru. Tanah yang kau pijak akan selalu dingin dan merah, ia tak akan kekeringan atau menjadi terlalu lembab. Kabut-kabut putih akan terus menyelimutimu, walau mungkin cahaya-cahaya akan semakin benderang. Dan cahaya-cahaya memang tak akan menjadi lebih terang. Hanya begini saja. Tak akan ada perubahan. Kau dalam dimensi tanpa waktu...” Saya tercekat. *** “Bapak.. Bapak,” teriakan adik. Mata saya terpejam. Berat terbuka. Ada kesakitan di pergelangan tangan saya. Sebelah kiri sepertinya. Ada apa ini? Mana kupu-kupu tadi? “Pak, jari-jari kakak tadi bergerak. Kakak mulai siuman, Pak?” Ada derap langkah yang bergegas mendekati saya. Bapakkah itu? Tolong, tolonglah, Tuhan, saya ingin membuka mata. Saya ingin melihat bapak, adik... Ya, iya, saya berjanji. Kupu-kupu di mana pun sekarang kau berada, saya akan mengingat kata-katamu. Biarkan saya pergi dari sini. Saya berjanji akan berubah. Lepaskan saya dari dimensi tanpa waktu, kupu-kupu. Saya menggeliat, mengerang, berharap mata itu terbuka. “Maafkan kesalahan itu, anakku. Ibu tak ingin kau hidup dalam penyesalan dan kegelisahan yang begitu dalam. Belajarlah dari kesalahan itu, nak. Melangkahlah.. Kau masih muda! Pijakanmu masih kuat. Ibu tetap menyayangimu apa pun yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi nanti. Ibu akan menemanimu tumbuh bersama waktu, tanpa henti.” Ibu... “Nak, sang waktu tak akan pernah berhenti... untuk mengubahmu.”
Mata saya terbuka sedikit demi sedikit. Saya rasakan tangan saya dalam genggaman adik. Bapak yang tak henti mengusap rambut saya. Saya rasakan kehangatan. Saya telah kembali. Saya berhasil keluar dari dimensi tanpa waktu. “Kakak...” suara adik saya memanggil. “Kamu melewatkan malam pergantian tahun! Ah, kamu pengacau acaraku, kak!” adik saya memonyongkan bibirnya, ia manyun, tapi kemudian tersenyum. “Selamat tahun baru, kakak! Aku menyayangimu,” ucap adik yang membuat saya sangat terharu. “Selamat tahun baru, nak.” Bapak, matanya berkaca-kaca. Saya rasakan bahagia. Oh, maafkan saya, Pak. “Selamat tahun baru, pak, dik...” ucapan pertama saya di hari pertama di tahun yang baru. Hari terakhir kemarin memang bena-benar telah berakhir, berganti dengan hari yang baru. *** Seminggu setelah kejadian saya memotong urat nadi di pergelangan tangan kiri, saya mengunjungi makam ibu, sendiri saja. Saya telah ceroboh menabrak ibu sendiri di depan garasi rumah. Sangat ceroboh. Dan sangat bersalah tak mendengar kata ibu untuk tidak datang ke acara malam tahun baru itu. Ibu sudah curiga hanya akan ada pesta penuh minuman keras dan seks bebas. Saya teledor membiarkan diri dicecoki minuman keras. Saya pulang dalam keadaan mabuk. Ibu menunggu saya, tak bisa tidur. Mobil tetap saya lajukan kencang walau sudah sampai depan rumah. Andaikan ibu tak berdiri di sana... Andaikan saya mendengarkan ibu... Andaikan saya bisa menjaga diri... Andaikan... Semua telah terlambat. Saya hidup dalam penyesalan. Tak ada yang berubah. Kesalahan demi kesalahan mengubah saya menjadi manusia tanpa perubahan. Ah, betapa bodohnya saya biarkan itu terjadi. Saya larut dalam detik yang terus bergulir, entah menjadi apa. Hingga kejadian dalam dimensi tanpa waktu menyadarkan saya. “Maafkan saya, Bu. Maafkan...” “Sang waktu tak akan pernah berhenti... untuk mengubahmu, nak.” Suara ibu yang terus menggema dalam relung hati saya.
-tamat- Jakarta, 31 Desember 2010.Vira Cla