“Inaaaah!” “Inaaaahh!!”
Pekik Mak Saonah sambil membekap mulut dan lubang hidungnya saat baru masuk rumah, sehabis pulang dari ‘pasar kaget’, belanja sayur, pagi itu.
Inah, putri bungsu Mak saonah yang tengah asyik bergosip-ria dengan kawannya di ujung telepon, di kamar yang bersebelah dengan ruang tamu, menyahut Maknya dengan teriakan pula. “Iya, Maak bentar…!” “Cepetaan, Inaaah! Mak Nggak tahan baunya, niih!” pekik Mak Saonah tuk kesekian kali. Kali ini dengan volume lebih memekak kuping. Kucing belang kesayangan Inah yang tengah pulas “ngluwer” di atas kursi rotan sehabis nyolong ikan asin di dapur sontak terlonjak kaget dan secepat kilat langsung terbirit menerobos jendela ruang tamu yang menganga lebar.
Inah pun keluar kamar dengan raut berbalut cemberut.
“Apaan sih, Mak. Pagi-pagi ginia udah heboh begitu,” ucap Inah. “Lho, Mak? Mak kenapa? Sakit gigi ya, Mak?” lanjut Inah. Kali ini, raut cemberutnya berganti mengheran spontan saat mendapati Maknya menutup mulut dan hidung sementara pandangannya menyisiri seluruh isi rumah.
“Sakit gigi, gundulmu itu. Eh, Nah, emang kamu nggak bau apa?” sahut Mak Saonah saat melihat anak perempuannya itu berwajah seperti tak mencium bau-bauan sesuatu. “Bau? Bau apaan sih, Mak?” tanya Inah sambil menaik-turunkan hidungnya yang tak begitu bangir, mencari-cari bau menusuk hidung yang dimaksudkan Maknya barusan. “Kamu tadi nyapu rumahnya nggak bersih kali, Nah! Perasaan sebelum Mak pergi ke pasar, nggak ada bau-bauan kayak begini deh,” ujar Mak Inah kali ini sambil jongkok, menyisiri seluruh kolong kursi rotan dan almari televisi yang tergeletak di pojokan ruang tamu. Nihil. Mak Saonah tak menemukan apa pun di kolong itu.
Setelah beberapa detik Inah menggerak-gerakkan batang hidungnya, kali ini indra penciumannya sukses menangkap bau yang memang terasa begitu menyengat, seperti…, bau bangkai. Ya, benar banget. Bau bangkai. Tak salah lagi. Tebak Inah dalam batin.
“Iya, bener, Mak. Bau bangkai!” Inah ikut-ikutan Maknya menutup rapat mulut dan lubang hidungnya.
“Nah, bener kan? Jangan-jangan kucing sialan itu yang membawa tikus ke dalam rumah ini,” sahut Mak sewot.
“Eeeh, Mak jangan asal nuduh cemong gitu dong,” Inah tak rela jika cemong, julukan kucing kesayangannya yang biasa ia elus-elus tiga kali saban hari itu, jadi sasaran fitnah kejinya Mak. Ugh! Apa Mak udah lupa kali ya, jika fitnah itu lebih keji dari pembunuhan.
“Udah, udah. Nggak usah bahas kucing itu. Mendingan sekarang kamu bantuin Mak periksa seisi rumah ini, cari bangkai itu sampai ketemu!” perintah Mak Saonah yang terlihat masih enggan melepaskan telapak tangannya dari mulut dan hidungnya.
Namun, hingga jarum jam menunjuk ke angka tujuh kurang seperempat, tak jua ditemukan bangkai yang lama-lama baunya cukup menyengat, membuat seisi perut seakan mau buncah dari sarangnya. Inah mengomel-ngomel tak karuan. Karena selain tak sempat sarapan pagi, ia mesti lari tergopoh-gopoh menuju sekolah yang jaraknya seratusan meter dari rumahnya.
***
Inah begitu terhenyak saat melihat Pak Kepala sekolah ditemani Pak Sigit dan Bu Halimah telah berdiri mematung badan di depan pintu gerbang sekolah. Waduhh, gawat. Pasti aku bakalan kena hukum karena telat masuk, gumam Inah mendadak diserbu gerah dan gelisah.
“Kenapa telat!” cegat Pak Kepala sekolah dengan raut tak bersahabat. Pak Sigit dan Bu Halimah menatap Inah dengan tajam. Nyali Inah pun menyusut-menciut. “Mm… ma…ma’af, Pak. Ta… tadi membantu ibu dulu,” kalimat Inah terpatah-patah. “Membantu apa? Jangan banyak alasan kamu,” sergah Bu Halimah dengan tatap menelikung, tajam mengunjam jantung. “Nya… nyari bangkai di rumah, Bu,” ucap Inah ragu-ragu.
Pak Halimah dan Pak Sigit saling bersitatap, seperti ingin menyungging senyum, tapi urung. Sementara Pak Kepala Sekolah dahinya langsung mengernyit.
“Bangkai…?” heran Pak Kepala Sekolah. “I..iya, Pak,” jawab Inah takut-takut.
Beliau manggut-manggut kecil.
“Ya, sudah, sekarang kamu masuk, kali ini kamu Bapak maafkan. Tapi, kalau sampai terlambat lagi, jangan harap kamu bisa lepas dari jerat hukuman,” lanjut Pak Kepala Sekolah.
Kalimat yang meluncur dari bibir Pak Kepala Sekolah serta-merta membuat dada Inah terasa plong. Sempat Inah melirik reaksi raut Pak Sigit dan Bu Halimah yang sinis; sepertinya kurang begitu suka kalau ia terbebas dari jeratan hukuman begitu saja. Tapi Inah tak peduli, toh Pak Kepala Sekolah telah mengetuk palu kebebasan untuknya. Inah pun bersilekas ngeloyor masuk dengan membungkukkan badan tanda hormat pada gurunya. Tapi, baru saja ia melewati ketiga gurunya itu…
“Tunggu…!” suara Pak Kepala Sekolah sontak menghentikan langkah Inah. “Ii… iya, Pak,” sahut Inah seraya spontan memutar badan dengan guratan wajah heran berbalut khawatir. Waduh, jangan-jangan beliau berubah pikiran, batin Inah was-was cemas. “Kamu belum mandi, ya?” pertanyaan Pak Kepala Sekolah sontak membuat Inah terkesima.
What? Belum mandi? Enak aja! Sabunnya saja pake punya Luna Maya, batin Inah masygul.
“Su…sudah kok, Pak?”
Inah menatap satu persatu ekspresi wajah ketiga gurunya yang sama persis; mendengus-denguskan hidung sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya ke depan hidung masing-masing.
“Kok kamu bau bangkai, sih?” kata Bu Halimah sambil menutup hidung. “Iya, ya Bu, padahal tadi nggak, lho,” tambah Pak Sigit ikut-ikutan membekap hidungnya. Pun tak beda dengan Pak Kepala Sekolah yang lantas melakukan hal serupa. “Sana sana sana…, cepetan masuk!” perintah Pak Kepala Sekolah pada Inah agar segera masuk kelas. Inah menghambur ke kelasnya dengan mengusung ribuan tanda tanya tanpa jawaban. Masa sih, aku bau bangkai? Ngaco! Kurang ajar! Sembarangan saja. Gerutunya.
***
Saat jam istirahat, seperti biasa, Inah dan kedua karibnya, Siti dan Mumun, mojok di kantin sebelah kelasnya. Seperti yang sudah-sudah, setiap jam istirahat, ketiga karib itu punya jadwal nge-gosip-ria di sana sambil menyeruput es campur dan menyantap mie kuah.
“Sial benar aku hari ini,” Inah memulai pembicaraan. “Kenapa, dicuekin sama si ganteng Joko gebetanmu lagi?” sahut Siti. “Yee, bukan masalah itu,” sahut Inah seraya mengaduk-aduk sendok es campurnya. “Kalo itu sih, iya,” lanjut Inah.
Munah senyam-senyum. “Aku tebak nih, pasti kamu uring-uringan gara-gara belum kesampean beli Blackberry kayak punya si Tika yang sok narsis itu kan,” cetus Munah. “Yee, salah! Salah! Bukan masalah itu…,” timpal Inah. “Trus…,” sahut Siti, sambil menyendok es campur dan menyuapkan ke mulutnya pelan.
Lalu, dari bibir Inah mengalir cerita tentang Mak-nya yang tadi pagi heboh nyari bangkai di rumahnya. Padahal hampir satu jam lamanya, tak ditemukan apa pun, bahkan bangkai semut pun tak ia dapati. Inah juga cerita, saat Kepala Sekolah menuduh dirinya belum mandi. Dan yang paling membuatnya gondok, ia katanya bau bangkai.
“Kesel banget pokoknya aku hari ini,” pungkas Inah mengakhiri ceritanya. “Tunggu, tunggu…,” sahut Siti seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.
Munah terpaksa menurunkan sendok es campurnya yang sudah nempel di bibirnya demi menanti kalimat Siti berikutnya.
“Kok, kejadian yang kamu alami sama persis dengan yang menimpaku tadi pagi ya, Nah,” lanjut Siti dengan tatapan aneh.
“Masa, sih?” sahut Inah heran. “Ibu kamu nyari bangkai juga, Ti?” Munah ikut-ikutan menyela dengan ekspresi takjub. Siti meng-iyakan pertanyaan Munah dengan anggukan tegas.
“Anehnya, setelah aku, Ibu, Bapak dan kedua Abangku menggeledah seisi rumah, tak satupun bangkai ditemukan,” terang Siti.
Ketiga karib itu saling adu pandang dengan raut wajah mengheran.
Beberapa menit berikutnya...
“Hoek! Hoek!”
Munah yang barusan menyuapkan sendok mie kuahnya ke dalam mulutnya nyaris muntah. Siti dan Inah bersilekas meraih pundak dan tengkuk karibnya itu.
“Mun, ka… kamu sakit?” tanya Siti khawatir. “Ka… kamu… ngg.. nggak halim perdana kusumah kan, Mun…,” gumam Inah lirih, sementara pandangannya menyusuri seluruh ruang kantin yang kebetulan sedang sepi. “Ngawur!” sergah Munah mendelik sambil mencekik erat-erat batang hidungnya. “Lalu, kenapa kamu…,” kata Siti selanjutnya. “Nggak tau nih, kok tiba-tiba aku nyium bau bangkai, ya?” potong Munah sambil menutup hidung dan mulutnya.
Siti dan Inah saling bersitatap.
Lama.
Hingga kemudian hidung keduanya mendengus-dengus, seperti ada angin yang tiba-tiba saja mengembuskan bau yang tak aneh lagi. Ya, indra penciuman keduanya menangkap bau…, bangkai!
“I..iya, aku juga bau!” pekik Siti lantas dengan sigap membekap hidungnya.
Tak beda dengan Inah yang juga melakukan hal serupa. Dan, semakin lama, bau bangkai itu makin menyengat menusuk lobang hidung. Ketiga karib itu pun langsung terbirit ke toilet sambil menahan rasa mual yang tak tertahankan.
Sesampainya di toilet, ketiga karib itu langsung muntah bersamaan. Dan ketiganya langsung histeris dengan bola mata membeliak. Mereka kaget bukan kepalang, saat mengetahui muntahan yang keluar dari mulut mereka adalah potongan-potongan bagian tubuh saudara-saudaranya sendiri....
Sam Edy YuswantoCatatan: Halim Perdana Kusumah: banyolan anak-anak, maksudnya: hamil.
Pekik Mak Saonah sambil membekap mulut dan lubang hidungnya saat baru masuk rumah, sehabis pulang dari ‘pasar kaget’, belanja sayur, pagi itu.
Inah, putri bungsu Mak saonah yang tengah asyik bergosip-ria dengan kawannya di ujung telepon, di kamar yang bersebelah dengan ruang tamu, menyahut Maknya dengan teriakan pula. “Iya, Maak bentar…!” “Cepetaan, Inaaah! Mak Nggak tahan baunya, niih!” pekik Mak Saonah tuk kesekian kali. Kali ini dengan volume lebih memekak kuping. Kucing belang kesayangan Inah yang tengah pulas “ngluwer” di atas kursi rotan sehabis nyolong ikan asin di dapur sontak terlonjak kaget dan secepat kilat langsung terbirit menerobos jendela ruang tamu yang menganga lebar.
Inah pun keluar kamar dengan raut berbalut cemberut.
“Apaan sih, Mak. Pagi-pagi ginia udah heboh begitu,” ucap Inah. “Lho, Mak? Mak kenapa? Sakit gigi ya, Mak?” lanjut Inah. Kali ini, raut cemberutnya berganti mengheran spontan saat mendapati Maknya menutup mulut dan hidung sementara pandangannya menyisiri seluruh isi rumah.
“Sakit gigi, gundulmu itu. Eh, Nah, emang kamu nggak bau apa?” sahut Mak Saonah saat melihat anak perempuannya itu berwajah seperti tak mencium bau-bauan sesuatu. “Bau? Bau apaan sih, Mak?” tanya Inah sambil menaik-turunkan hidungnya yang tak begitu bangir, mencari-cari bau menusuk hidung yang dimaksudkan Maknya barusan. “Kamu tadi nyapu rumahnya nggak bersih kali, Nah! Perasaan sebelum Mak pergi ke pasar, nggak ada bau-bauan kayak begini deh,” ujar Mak Inah kali ini sambil jongkok, menyisiri seluruh kolong kursi rotan dan almari televisi yang tergeletak di pojokan ruang tamu. Nihil. Mak Saonah tak menemukan apa pun di kolong itu.
Setelah beberapa detik Inah menggerak-gerakkan batang hidungnya, kali ini indra penciumannya sukses menangkap bau yang memang terasa begitu menyengat, seperti…, bau bangkai. Ya, benar banget. Bau bangkai. Tak salah lagi. Tebak Inah dalam batin.
“Iya, bener, Mak. Bau bangkai!” Inah ikut-ikutan Maknya menutup rapat mulut dan lubang hidungnya.
“Nah, bener kan? Jangan-jangan kucing sialan itu yang membawa tikus ke dalam rumah ini,” sahut Mak sewot.
“Eeeh, Mak jangan asal nuduh cemong gitu dong,” Inah tak rela jika cemong, julukan kucing kesayangannya yang biasa ia elus-elus tiga kali saban hari itu, jadi sasaran fitnah kejinya Mak. Ugh! Apa Mak udah lupa kali ya, jika fitnah itu lebih keji dari pembunuhan.
“Udah, udah. Nggak usah bahas kucing itu. Mendingan sekarang kamu bantuin Mak periksa seisi rumah ini, cari bangkai itu sampai ketemu!” perintah Mak Saonah yang terlihat masih enggan melepaskan telapak tangannya dari mulut dan hidungnya.
Namun, hingga jarum jam menunjuk ke angka tujuh kurang seperempat, tak jua ditemukan bangkai yang lama-lama baunya cukup menyengat, membuat seisi perut seakan mau buncah dari sarangnya. Inah mengomel-ngomel tak karuan. Karena selain tak sempat sarapan pagi, ia mesti lari tergopoh-gopoh menuju sekolah yang jaraknya seratusan meter dari rumahnya.
***
Inah begitu terhenyak saat melihat Pak Kepala sekolah ditemani Pak Sigit dan Bu Halimah telah berdiri mematung badan di depan pintu gerbang sekolah. Waduhh, gawat. Pasti aku bakalan kena hukum karena telat masuk, gumam Inah mendadak diserbu gerah dan gelisah.
“Kenapa telat!” cegat Pak Kepala sekolah dengan raut tak bersahabat. Pak Sigit dan Bu Halimah menatap Inah dengan tajam. Nyali Inah pun menyusut-menciut. “Mm… ma…ma’af, Pak. Ta… tadi membantu ibu dulu,” kalimat Inah terpatah-patah. “Membantu apa? Jangan banyak alasan kamu,” sergah Bu Halimah dengan tatap menelikung, tajam mengunjam jantung. “Nya… nyari bangkai di rumah, Bu,” ucap Inah ragu-ragu.
Pak Halimah dan Pak Sigit saling bersitatap, seperti ingin menyungging senyum, tapi urung. Sementara Pak Kepala Sekolah dahinya langsung mengernyit.
“Bangkai…?” heran Pak Kepala Sekolah. “I..iya, Pak,” jawab Inah takut-takut.
Beliau manggut-manggut kecil.
“Ya, sudah, sekarang kamu masuk, kali ini kamu Bapak maafkan. Tapi, kalau sampai terlambat lagi, jangan harap kamu bisa lepas dari jerat hukuman,” lanjut Pak Kepala Sekolah.
Kalimat yang meluncur dari bibir Pak Kepala Sekolah serta-merta membuat dada Inah terasa plong. Sempat Inah melirik reaksi raut Pak Sigit dan Bu Halimah yang sinis; sepertinya kurang begitu suka kalau ia terbebas dari jeratan hukuman begitu saja. Tapi Inah tak peduli, toh Pak Kepala Sekolah telah mengetuk palu kebebasan untuknya. Inah pun bersilekas ngeloyor masuk dengan membungkukkan badan tanda hormat pada gurunya. Tapi, baru saja ia melewati ketiga gurunya itu…
“Tunggu…!” suara Pak Kepala Sekolah sontak menghentikan langkah Inah. “Ii… iya, Pak,” sahut Inah seraya spontan memutar badan dengan guratan wajah heran berbalut khawatir. Waduh, jangan-jangan beliau berubah pikiran, batin Inah was-was cemas. “Kamu belum mandi, ya?” pertanyaan Pak Kepala Sekolah sontak membuat Inah terkesima.
What? Belum mandi? Enak aja! Sabunnya saja pake punya Luna Maya, batin Inah masygul.
“Su…sudah kok, Pak?”
Inah menatap satu persatu ekspresi wajah ketiga gurunya yang sama persis; mendengus-denguskan hidung sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya ke depan hidung masing-masing.
“Kok kamu bau bangkai, sih?” kata Bu Halimah sambil menutup hidung. “Iya, ya Bu, padahal tadi nggak, lho,” tambah Pak Sigit ikut-ikutan membekap hidungnya. Pun tak beda dengan Pak Kepala Sekolah yang lantas melakukan hal serupa. “Sana sana sana…, cepetan masuk!” perintah Pak Kepala Sekolah pada Inah agar segera masuk kelas. Inah menghambur ke kelasnya dengan mengusung ribuan tanda tanya tanpa jawaban. Masa sih, aku bau bangkai? Ngaco! Kurang ajar! Sembarangan saja. Gerutunya.
***
Saat jam istirahat, seperti biasa, Inah dan kedua karibnya, Siti dan Mumun, mojok di kantin sebelah kelasnya. Seperti yang sudah-sudah, setiap jam istirahat, ketiga karib itu punya jadwal nge-gosip-ria di sana sambil menyeruput es campur dan menyantap mie kuah.
“Sial benar aku hari ini,” Inah memulai pembicaraan. “Kenapa, dicuekin sama si ganteng Joko gebetanmu lagi?” sahut Siti. “Yee, bukan masalah itu,” sahut Inah seraya mengaduk-aduk sendok es campurnya. “Kalo itu sih, iya,” lanjut Inah.
Munah senyam-senyum. “Aku tebak nih, pasti kamu uring-uringan gara-gara belum kesampean beli Blackberry kayak punya si Tika yang sok narsis itu kan,” cetus Munah. “Yee, salah! Salah! Bukan masalah itu…,” timpal Inah. “Trus…,” sahut Siti, sambil menyendok es campur dan menyuapkan ke mulutnya pelan.
Lalu, dari bibir Inah mengalir cerita tentang Mak-nya yang tadi pagi heboh nyari bangkai di rumahnya. Padahal hampir satu jam lamanya, tak ditemukan apa pun, bahkan bangkai semut pun tak ia dapati. Inah juga cerita, saat Kepala Sekolah menuduh dirinya belum mandi. Dan yang paling membuatnya gondok, ia katanya bau bangkai.
“Kesel banget pokoknya aku hari ini,” pungkas Inah mengakhiri ceritanya. “Tunggu, tunggu…,” sahut Siti seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.
Munah terpaksa menurunkan sendok es campurnya yang sudah nempel di bibirnya demi menanti kalimat Siti berikutnya.
“Kok, kejadian yang kamu alami sama persis dengan yang menimpaku tadi pagi ya, Nah,” lanjut Siti dengan tatapan aneh.
“Masa, sih?” sahut Inah heran. “Ibu kamu nyari bangkai juga, Ti?” Munah ikut-ikutan menyela dengan ekspresi takjub. Siti meng-iyakan pertanyaan Munah dengan anggukan tegas.
“Anehnya, setelah aku, Ibu, Bapak dan kedua Abangku menggeledah seisi rumah, tak satupun bangkai ditemukan,” terang Siti.
Ketiga karib itu saling adu pandang dengan raut wajah mengheran.
Beberapa menit berikutnya...
“Hoek! Hoek!”
Munah yang barusan menyuapkan sendok mie kuahnya ke dalam mulutnya nyaris muntah. Siti dan Inah bersilekas meraih pundak dan tengkuk karibnya itu.
“Mun, ka… kamu sakit?” tanya Siti khawatir. “Ka… kamu… ngg.. nggak halim perdana kusumah kan, Mun…,” gumam Inah lirih, sementara pandangannya menyusuri seluruh ruang kantin yang kebetulan sedang sepi. “Ngawur!” sergah Munah mendelik sambil mencekik erat-erat batang hidungnya. “Lalu, kenapa kamu…,” kata Siti selanjutnya. “Nggak tau nih, kok tiba-tiba aku nyium bau bangkai, ya?” potong Munah sambil menutup hidung dan mulutnya.
Siti dan Inah saling bersitatap.
Lama.
Hingga kemudian hidung keduanya mendengus-dengus, seperti ada angin yang tiba-tiba saja mengembuskan bau yang tak aneh lagi. Ya, indra penciuman keduanya menangkap bau…, bangkai!
“I..iya, aku juga bau!” pekik Siti lantas dengan sigap membekap hidungnya.
Tak beda dengan Inah yang juga melakukan hal serupa. Dan, semakin lama, bau bangkai itu makin menyengat menusuk lobang hidung. Ketiga karib itu pun langsung terbirit ke toilet sambil menahan rasa mual yang tak tertahankan.
Sesampainya di toilet, ketiga karib itu langsung muntah bersamaan. Dan ketiganya langsung histeris dengan bola mata membeliak. Mereka kaget bukan kepalang, saat mengetahui muntahan yang keluar dari mulut mereka adalah potongan-potongan bagian tubuh saudara-saudaranya sendiri....
Sam Edy YuswantoCatatan: Halim Perdana Kusumah: banyolan anak-anak, maksudnya: hamil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar