Dulu kukira akan banyak lelaki yang menulis puisi untuk aku. Ternyata sampai aku berusia 50 tahun, hanya kamu yang pernah melakukannya. Aku masih menyimpannya sampai sekarang…
Kalau saja email bisa bersuara, Tio, pasti terbuai oleh merdu kata-kata yang dirangkai dalam kalimat itu. Apalagi bila di benaknya terrekam suasana kampus Rawamangun tahun 1980-an, ketika mereka berdua masih berkuliah di sana. Masa-masa indah yang seperti baru terjadi kemarin. Suara-suara yang seperti tak mau hilang, terus bergema lagi. Penuh tawa di sela-sela derap langkah dan ketuk sepatu hak tinggi. Penuh canda di sela mengerjakan majalah kampus. Penuh ceria di sela-sela fotokopi bahan kuliah yang bertebaran di meja.
Saat kepala dibuat pening bahan kuliah, hutang paper yang harus dibuat, tapi juga sore yang santai dengan nongkrong di kantin, bercengkerama di taman yang asri atau perpustakaan yang senyap. Buku, pesta, dan cinta menjadi warna tersendiri saat idealisme sedang membakar jiwa muda melalui demo anti Orde Baru yang dilakukan setiap saat. Saat the yellow jackets menjadi lambang perlawanan atas kediktatoran dengan gerakan mahasiswa yang membuncah juga di berbagai pelosok tanah air. Apa kabar, Rin?
Hanya kata itu yang dapat dia ketikkan dan tampak di layar kaca, ketika pintu komunikasi kembali terbuka berkat kemurahan hati teknologi modern setelah lebih dari sekitar 20 tahun tidak bertemu, apalagi berbicara. Sayup-sayup dia kembali mendengar ucapan rekannya, Adek, ya, mungkin 20 tahun lalu, tentang kabar gadis yang pernah ditaksirnya itu.
“Kamu sudah dengar belum. Rini katanya bercerai. Mungkin kamu perlu telpon untuk sekadar memberi dukungan moral,” kata Adek saat mereka bertemu secara tak sengaja. “Busyet. Apa urusannya. Jadi pacar saja nggak pernah,” kata Tio. “Ya, namanya juga teman kena musibah. Kan nggak apa-apa.” “Aku ini lelaki beristri.”
Tio sempat menduga-duga apa yang terjadi dengan Rini. Tetapi pada beberapa kasus yang menimpa rekan-rekannya di kampus dan sempat jadi pembicaraan, penyebab utama perceraian adalah salah satu pasangan kuliah kembali di luar negeri. Berpisah dua-tiga tahun, di perkawinan yang masih relatif dini, baru 2-3 tahun, mahligai belum lagi kokoh. Kedua pihak bisa tergoda untuk tidak setia. Ada yang rujuk lagi begitu pulang ke tanah air. Ada yang memilih berpisah karena perbedaan yang sudah begitu lebar.
“Buat apa aku pikirin. Setiap orang punya jalan hidup. Dan aku tidak berpretensi jadi penasehat perkawinan. Aku juga belum tentu mampu menghadapi godaan seperti itu,” katanya dalam hati, ketika ada dorongan di dalam untuk menghubungi Rini.
Alhasil memang tidak pernah terjadi komunikasi. Tio tidak berusaha mencari tahu keberadaan Rini sehingga keduanya tidak bertemu. Tuhan juga tidak menghendaki, rupanya. Belakangan Tio mendengar Rini tinggal di luar negeri, sudah menikah lagi dengan lelaki pujaan hatinya, yang konon lebih ganteng dari yang pertama. Dan yang penting mungkin, lebih bertanggungjawab.
Melihat gambarmu, aku masih merasakan ceria yang selalu kamu bawa. Cerdas dan penuh percaya diri. Juga cerewet. Tapi aku suka itu.
Muncul lagi kilas balik kuliah Pengantar Antropologi di lantai dua di benak Tio. Baru masuk dan meletakkan buku di meja, sang guru besar sudah mengeluarkan perintah. “Kita ujian. Ambil kertas,” katanya dengan suara kencang. Kita semua kaget—atau kamu tidak?—karena tidak menduganya.
“Pertanyaan nomor satu,” lanjutnya padahal ada yang masih bengong. Satu menit kemudian,” Pertanyaan nomor dua..” sampai kira-kira empat-lima pertanyaan. Lalu selang satu menit, ”Kumpulkan..” Kemudian gurubesar yang dijuluki killer karena banyak mahasiswa gagal lulus di mata kuliahnya memberikan pekerjaan rumah, membuat paper tentang topik atau istilah tertentu dari buku referensi yang hanya ada di perpustakaan.
Waktu memutuskan mengambil mata kuliah itu sebagai pilihan, Tio hanya sekadar ingin menambah wawasan selain angka SKSnya yang tinggi. Diajar seorang professor kenamaan juga membanggakan. Tapi belakangan yang membuatnya betah meski harus kerja ekstra keras adalah kehadiran Rini. Si anak professor yang pernah sekolah di luar negeri, pintar, menjadi daya tarik khusus. Dia kerap mengamati mahasiswa berambut sebahu itu dari bangkunya sambil mencatat ocehan dosen. Begitu pula bila tengah beramai-ramai mencatat terjemahan buku referensi sebesar bantal di perpustakaan, dia suka mencuri pandang Rini yang menjadi komandan rekan-rekan jurusannya. Belum ada cinta, sekadar suka, dan itu pun belum diucapkan. Karena terus terang, di fakultas sastra ada begitu banyak mahasiswi menarik, dengan berbagai pesonanya. Jadi bisa tiap hari jatuh cinta.
Maka suatu hari Tio yang mengasuh majalah kampus menuliskan perasaannya di salah satu halaman. Apalagi kalau tidak dalam bentuk puisi. Hanya saja agar tidak ketahuan, dia tambahi kalimat “kertas ini ditemukan redaksi terjatuh di sela-sela bangku sehabis kuliah professor…”. Tapi belakangan Rini tampaknya tahu. Apalagi Tio sudah mulai cari gara-gara untuk ngobrol. Bahkan untuk unjuk gigi, Tio, meminta agar Rini mengklipping sajaknya yang dimuat di Sinar Harapan dengan alasan,”Aku nggak punya duit buat beli korannya. Kalau kamu kan langganan,” katanya. Padahal maksudnya, supaya Rini terkesan bahwa dia benar-benar penyair muda yang punya reputasi.
Rio sendiri tidak pernah tahu apakah PDKT yang dilakukannya berhasil. Kalau diajak bicara, Rini ramah dan menyahut. Tapi kalau untuk jalan berdua, sulit sekali, karena dia selalu berjalan bergerombol bersama rekan angkatannya. Sulit ditembus. Dia juga pernah datang ke rumah, ngobrol sebentar sambil minum sirup sirsak, tapi bicaranya ya yang umum-umum saja. Mereka juga pernah bertemu dalam kemah bersama di Pantai Anyer, tetapi tidak ada terobosan dalam hubungan keduanya. Dalam arti, Tio kebingungan mencari cara yang tepat untuk “nembak”, tapi terhalang terus. Paling larinya, ya membuat puisi, atau cerpen. Aku jadi ingat bunga edelweiss itu.
Satu peristiwa yang selalu diingat Tio sampai sekarang apalagi kalau bukan cerita bunga edelweiss, berbulan-bulan setelah status hubungan yang tidak jelas itu. Ceritanya Tio diajak Adek naik Gunung Gede agar tidak kalah jantan dibandingkan rekan mahasiswa dari jurusan yang banyak lelakinya seperti Arkeologi dan Antropologi. Maklumlah dia dan Adek dari jurusan bahasa. Maka berdua mereka jalan, dengan modal pengetahuan seadanya.
Dimulai dari naik bis ke Cisarua, jalan kaki ke pintu kebun raya dan istirahat di Mandala Kitri sebelum memulai pendakian sehabis Isya. Karena malam itu banyak yang naik, tidak persoalan benar keawaman Tio. Mereka ramai-ramai melalui “jalur bypass”, meskipun harus terengah-engah karena tidak pernah melakukannya. Yang penting pada pagi hari, saat matahari baru saja terbit, mereka tiba di puncak gunung dan istirahat sebentar. Setelah itu turun ke hamparan bunga edelweiss yang menjadi tempat beristirahat banyak pendaki sambil menyedu kopi atau merebus supermie. Ito lalu memetik bunga-bunga putih yang indah karena keabadiannya itu, membungkusnya dalam kertas koran, memasukkan ke dalam plastic, lalu disusupkan di ransel.
Tak lama di sana, keduanya lalu turun, mendarat di dekat Pasar Cipanas. Seperti tidak ada rasa lelah, cari bus ke Jakarta untuk turun di Cililitan. Lalu melanjutkan dengan bis jurusan Tanjung Priok, berhenti di perempatan Utan Kayu. Jalan kaki ke asrama.
Sore itu, menjelang magrib, sehabis mandi, berpakaian rapi (rapinya ya berarti pakai T shit yang baru disetrika), Tio memberanikan diri datang ke rumah Rini, tidak jauh dari asrama. Satu paket bunga yang dia bungkus rapi dengan koran, hanya edelweiss saja yang menyembul, dia bawa dengan gagah berani. Masuk pagar, Tio mengetuk pintu. Ternyata yang membuka, ayah sang gadis.
“Rini ada, Oom,” tanya Tio dengan suara tercekat. Tenggorokannya kering. “Dia sedang keluar. Ada apa?,” ujar tuan rumah. Kalimatnya ramah. Matanya memandang genggaman bunga yang ada di tangan Tio seperti menerka-nerka. Tio yang semula membayangkan diri sebagai Clark Gable yang gagah menyodorkan bungan ke gadis pujaannya, terpaku beku. “Ah nggak. Nggak apa-apa. Saya hanya mau menyampaikan bunga ini,” kata Tio kemudian. Lalu seperti masih dalam suasana tersihir dia menyorongkan bunga itu. “Oh iya. Terima kasih. Nanti Oom sampaikan,” ujar pria berkacamata itu. “Terima kasih,” balas Tio, lalu berbalik badan. Pulang. Lesu, harapannya untuk memberikan bunga sambil mengatakan sesuatu yang berarti, sirna. Dan momen itu seperti hilang selamanya. Lucu, kayaknya nggak pernah mulai tapi langsung terputus…
Sehari setelah adegan itu, Tio dan Rini bertemu, tetapi tampaknya tidak ada sesuatu yang istimewa. Cewek itu hanya menyampaikan terima kasih atas pemberian bunga. Dia berjanji akan mencarikan vas yang bagus, ditaruh di buffet di ruang tamu, agar setiap hari bisa dipandang. Itu saja. Kamu tidak tahu ya aku suka sama kamu? ingin Tio menyatakan. Tapi lagi-lagi tenggorokannya seperti tersekat. Sampai suatu hari, cinta yang tak pernah tersambung akhirnya putus. Rini tersinggung karena Adek yang merasa berkepentingan akan penderitaan Tio, ikut campur dalam urusan mereka. Adek meminta agar Rini serius membuka hati, menerima Tio sebagai kekasih.
“Ada urusan apa Adek bicara tentang hubungan kita,” kata Rini setengah marah, setelah mengajak bicara Tio di sebuah ruangan, sehabis kuliah. “Kalau kita pacaran, ya urusan kita sendiri. Bukan hak dia untuk ngomong harus begini harus begitu.” “Nggak tahu. Aku hanya cerita soal kamu. Mungkin dia insiatif sendiri,” kata Tio terbata-bata, karena sungguh-sungguh tidak tahu aksi rekan baiknya itu.
Hening. Ruang besar yang kerap dijadikan arena pertunjukan itu seperti beku. Satu dua mahasiswa yang melintas, pura-pura tidak melihat. Keduanya lama terdiam, seperti kehabisan kata.
“Mungkin hubungan kita hanya sampai di sini,” kata Tio akhirnya, lalu pergi melangkah keluar. Rini pun pergi dengan terdiam. Mungkin bingung, hubungan tidak pernah ada, tapi dikatakan diakhiri. Mereka masih berteman, masing-masing kemudian pacar. Tio berpacaran dengan teman sekampus, Rini dipacari anak Salemba, istilah untuk mahasiswa FK, FKG, FE, FT, dan FMIPA yang sering cari “mangsa” di Rawamangun yang dihuni mahasiswa FS, FH, FISIP, dan Fakultas Psikologi. Baru-baru ini, tepatnya tahun lalu, aku juga menulis puisi tentang kamu. Mudah-mudahan kamu suka. Kalau mau, akan aku kirim via email.
Dia lalu mengingat puisi-puisi yang dulu dibuatnya untuk, entah sekadar luapan perasaan, atau sebagai jerat cinta bagi orang yang disukainya—tidak peduli itu diterima atau bertepuk sebelah tangan. Luar biasa. Satu puisi kini mengayun-ayunkannya dalam kenyamanan yang sulit digambarkan. Tio masih mendengarkan lagu seraya memandang layar komputer yang seperti terowongan waktu ke masa mahasiswanya.
Bergetar hatiku saat kuberkenalan dengannya. Kudengar dia menyebutkan nama dirinya. Sejak kubertemu kutelah jatuh hati padanya. Di dalam hati telah menjelma cinta dan bawalah daku selalu dalam mimpimu , di langkahmu serta hidupmu...” begitu alunan suara Vina Panduwinata. Ah..
Jakarta, Februari 2010
Kalau saja email bisa bersuara, Tio, pasti terbuai oleh merdu kata-kata yang dirangkai dalam kalimat itu. Apalagi bila di benaknya terrekam suasana kampus Rawamangun tahun 1980-an, ketika mereka berdua masih berkuliah di sana. Masa-masa indah yang seperti baru terjadi kemarin. Suara-suara yang seperti tak mau hilang, terus bergema lagi. Penuh tawa di sela-sela derap langkah dan ketuk sepatu hak tinggi. Penuh canda di sela mengerjakan majalah kampus. Penuh ceria di sela-sela fotokopi bahan kuliah yang bertebaran di meja.
Saat kepala dibuat pening bahan kuliah, hutang paper yang harus dibuat, tapi juga sore yang santai dengan nongkrong di kantin, bercengkerama di taman yang asri atau perpustakaan yang senyap. Buku, pesta, dan cinta menjadi warna tersendiri saat idealisme sedang membakar jiwa muda melalui demo anti Orde Baru yang dilakukan setiap saat. Saat the yellow jackets menjadi lambang perlawanan atas kediktatoran dengan gerakan mahasiswa yang membuncah juga di berbagai pelosok tanah air. Apa kabar, Rin?
Hanya kata itu yang dapat dia ketikkan dan tampak di layar kaca, ketika pintu komunikasi kembali terbuka berkat kemurahan hati teknologi modern setelah lebih dari sekitar 20 tahun tidak bertemu, apalagi berbicara. Sayup-sayup dia kembali mendengar ucapan rekannya, Adek, ya, mungkin 20 tahun lalu, tentang kabar gadis yang pernah ditaksirnya itu.
“Kamu sudah dengar belum. Rini katanya bercerai. Mungkin kamu perlu telpon untuk sekadar memberi dukungan moral,” kata Adek saat mereka bertemu secara tak sengaja. “Busyet. Apa urusannya. Jadi pacar saja nggak pernah,” kata Tio. “Ya, namanya juga teman kena musibah. Kan nggak apa-apa.” “Aku ini lelaki beristri.”
Tio sempat menduga-duga apa yang terjadi dengan Rini. Tetapi pada beberapa kasus yang menimpa rekan-rekannya di kampus dan sempat jadi pembicaraan, penyebab utama perceraian adalah salah satu pasangan kuliah kembali di luar negeri. Berpisah dua-tiga tahun, di perkawinan yang masih relatif dini, baru 2-3 tahun, mahligai belum lagi kokoh. Kedua pihak bisa tergoda untuk tidak setia. Ada yang rujuk lagi begitu pulang ke tanah air. Ada yang memilih berpisah karena perbedaan yang sudah begitu lebar.
“Buat apa aku pikirin. Setiap orang punya jalan hidup. Dan aku tidak berpretensi jadi penasehat perkawinan. Aku juga belum tentu mampu menghadapi godaan seperti itu,” katanya dalam hati, ketika ada dorongan di dalam untuk menghubungi Rini.
Alhasil memang tidak pernah terjadi komunikasi. Tio tidak berusaha mencari tahu keberadaan Rini sehingga keduanya tidak bertemu. Tuhan juga tidak menghendaki, rupanya. Belakangan Tio mendengar Rini tinggal di luar negeri, sudah menikah lagi dengan lelaki pujaan hatinya, yang konon lebih ganteng dari yang pertama. Dan yang penting mungkin, lebih bertanggungjawab.
Melihat gambarmu, aku masih merasakan ceria yang selalu kamu bawa. Cerdas dan penuh percaya diri. Juga cerewet. Tapi aku suka itu.
Muncul lagi kilas balik kuliah Pengantar Antropologi di lantai dua di benak Tio. Baru masuk dan meletakkan buku di meja, sang guru besar sudah mengeluarkan perintah. “Kita ujian. Ambil kertas,” katanya dengan suara kencang. Kita semua kaget—atau kamu tidak?—karena tidak menduganya.
“Pertanyaan nomor satu,” lanjutnya padahal ada yang masih bengong. Satu menit kemudian,” Pertanyaan nomor dua..” sampai kira-kira empat-lima pertanyaan. Lalu selang satu menit, ”Kumpulkan..” Kemudian gurubesar yang dijuluki killer karena banyak mahasiswa gagal lulus di mata kuliahnya memberikan pekerjaan rumah, membuat paper tentang topik atau istilah tertentu dari buku referensi yang hanya ada di perpustakaan.
Waktu memutuskan mengambil mata kuliah itu sebagai pilihan, Tio hanya sekadar ingin menambah wawasan selain angka SKSnya yang tinggi. Diajar seorang professor kenamaan juga membanggakan. Tapi belakangan yang membuatnya betah meski harus kerja ekstra keras adalah kehadiran Rini. Si anak professor yang pernah sekolah di luar negeri, pintar, menjadi daya tarik khusus. Dia kerap mengamati mahasiswa berambut sebahu itu dari bangkunya sambil mencatat ocehan dosen. Begitu pula bila tengah beramai-ramai mencatat terjemahan buku referensi sebesar bantal di perpustakaan, dia suka mencuri pandang Rini yang menjadi komandan rekan-rekan jurusannya. Belum ada cinta, sekadar suka, dan itu pun belum diucapkan. Karena terus terang, di fakultas sastra ada begitu banyak mahasiswi menarik, dengan berbagai pesonanya. Jadi bisa tiap hari jatuh cinta.
Maka suatu hari Tio yang mengasuh majalah kampus menuliskan perasaannya di salah satu halaman. Apalagi kalau tidak dalam bentuk puisi. Hanya saja agar tidak ketahuan, dia tambahi kalimat “kertas ini ditemukan redaksi terjatuh di sela-sela bangku sehabis kuliah professor…”. Tapi belakangan Rini tampaknya tahu. Apalagi Tio sudah mulai cari gara-gara untuk ngobrol. Bahkan untuk unjuk gigi, Tio, meminta agar Rini mengklipping sajaknya yang dimuat di Sinar Harapan dengan alasan,”Aku nggak punya duit buat beli korannya. Kalau kamu kan langganan,” katanya. Padahal maksudnya, supaya Rini terkesan bahwa dia benar-benar penyair muda yang punya reputasi.
Rio sendiri tidak pernah tahu apakah PDKT yang dilakukannya berhasil. Kalau diajak bicara, Rini ramah dan menyahut. Tapi kalau untuk jalan berdua, sulit sekali, karena dia selalu berjalan bergerombol bersama rekan angkatannya. Sulit ditembus. Dia juga pernah datang ke rumah, ngobrol sebentar sambil minum sirup sirsak, tapi bicaranya ya yang umum-umum saja. Mereka juga pernah bertemu dalam kemah bersama di Pantai Anyer, tetapi tidak ada terobosan dalam hubungan keduanya. Dalam arti, Tio kebingungan mencari cara yang tepat untuk “nembak”, tapi terhalang terus. Paling larinya, ya membuat puisi, atau cerpen. Aku jadi ingat bunga edelweiss itu.
Satu peristiwa yang selalu diingat Tio sampai sekarang apalagi kalau bukan cerita bunga edelweiss, berbulan-bulan setelah status hubungan yang tidak jelas itu. Ceritanya Tio diajak Adek naik Gunung Gede agar tidak kalah jantan dibandingkan rekan mahasiswa dari jurusan yang banyak lelakinya seperti Arkeologi dan Antropologi. Maklumlah dia dan Adek dari jurusan bahasa. Maka berdua mereka jalan, dengan modal pengetahuan seadanya.
Dimulai dari naik bis ke Cisarua, jalan kaki ke pintu kebun raya dan istirahat di Mandala Kitri sebelum memulai pendakian sehabis Isya. Karena malam itu banyak yang naik, tidak persoalan benar keawaman Tio. Mereka ramai-ramai melalui “jalur bypass”, meskipun harus terengah-engah karena tidak pernah melakukannya. Yang penting pada pagi hari, saat matahari baru saja terbit, mereka tiba di puncak gunung dan istirahat sebentar. Setelah itu turun ke hamparan bunga edelweiss yang menjadi tempat beristirahat banyak pendaki sambil menyedu kopi atau merebus supermie. Ito lalu memetik bunga-bunga putih yang indah karena keabadiannya itu, membungkusnya dalam kertas koran, memasukkan ke dalam plastic, lalu disusupkan di ransel.
Tak lama di sana, keduanya lalu turun, mendarat di dekat Pasar Cipanas. Seperti tidak ada rasa lelah, cari bus ke Jakarta untuk turun di Cililitan. Lalu melanjutkan dengan bis jurusan Tanjung Priok, berhenti di perempatan Utan Kayu. Jalan kaki ke asrama.
Sore itu, menjelang magrib, sehabis mandi, berpakaian rapi (rapinya ya berarti pakai T shit yang baru disetrika), Tio memberanikan diri datang ke rumah Rini, tidak jauh dari asrama. Satu paket bunga yang dia bungkus rapi dengan koran, hanya edelweiss saja yang menyembul, dia bawa dengan gagah berani. Masuk pagar, Tio mengetuk pintu. Ternyata yang membuka, ayah sang gadis.
“Rini ada, Oom,” tanya Tio dengan suara tercekat. Tenggorokannya kering. “Dia sedang keluar. Ada apa?,” ujar tuan rumah. Kalimatnya ramah. Matanya memandang genggaman bunga yang ada di tangan Tio seperti menerka-nerka. Tio yang semula membayangkan diri sebagai Clark Gable yang gagah menyodorkan bungan ke gadis pujaannya, terpaku beku. “Ah nggak. Nggak apa-apa. Saya hanya mau menyampaikan bunga ini,” kata Tio kemudian. Lalu seperti masih dalam suasana tersihir dia menyorongkan bunga itu. “Oh iya. Terima kasih. Nanti Oom sampaikan,” ujar pria berkacamata itu. “Terima kasih,” balas Tio, lalu berbalik badan. Pulang. Lesu, harapannya untuk memberikan bunga sambil mengatakan sesuatu yang berarti, sirna. Dan momen itu seperti hilang selamanya. Lucu, kayaknya nggak pernah mulai tapi langsung terputus…
Sehari setelah adegan itu, Tio dan Rini bertemu, tetapi tampaknya tidak ada sesuatu yang istimewa. Cewek itu hanya menyampaikan terima kasih atas pemberian bunga. Dia berjanji akan mencarikan vas yang bagus, ditaruh di buffet di ruang tamu, agar setiap hari bisa dipandang. Itu saja. Kamu tidak tahu ya aku suka sama kamu? ingin Tio menyatakan. Tapi lagi-lagi tenggorokannya seperti tersekat. Sampai suatu hari, cinta yang tak pernah tersambung akhirnya putus. Rini tersinggung karena Adek yang merasa berkepentingan akan penderitaan Tio, ikut campur dalam urusan mereka. Adek meminta agar Rini serius membuka hati, menerima Tio sebagai kekasih.
“Ada urusan apa Adek bicara tentang hubungan kita,” kata Rini setengah marah, setelah mengajak bicara Tio di sebuah ruangan, sehabis kuliah. “Kalau kita pacaran, ya urusan kita sendiri. Bukan hak dia untuk ngomong harus begini harus begitu.” “Nggak tahu. Aku hanya cerita soal kamu. Mungkin dia insiatif sendiri,” kata Tio terbata-bata, karena sungguh-sungguh tidak tahu aksi rekan baiknya itu.
Hening. Ruang besar yang kerap dijadikan arena pertunjukan itu seperti beku. Satu dua mahasiswa yang melintas, pura-pura tidak melihat. Keduanya lama terdiam, seperti kehabisan kata.
“Mungkin hubungan kita hanya sampai di sini,” kata Tio akhirnya, lalu pergi melangkah keluar. Rini pun pergi dengan terdiam. Mungkin bingung, hubungan tidak pernah ada, tapi dikatakan diakhiri. Mereka masih berteman, masing-masing kemudian pacar. Tio berpacaran dengan teman sekampus, Rini dipacari anak Salemba, istilah untuk mahasiswa FK, FKG, FE, FT, dan FMIPA yang sering cari “mangsa” di Rawamangun yang dihuni mahasiswa FS, FH, FISIP, dan Fakultas Psikologi. Baru-baru ini, tepatnya tahun lalu, aku juga menulis puisi tentang kamu. Mudah-mudahan kamu suka. Kalau mau, akan aku kirim via email.
Dia lalu mengingat puisi-puisi yang dulu dibuatnya untuk, entah sekadar luapan perasaan, atau sebagai jerat cinta bagi orang yang disukainya—tidak peduli itu diterima atau bertepuk sebelah tangan. Luar biasa. Satu puisi kini mengayun-ayunkannya dalam kenyamanan yang sulit digambarkan. Tio masih mendengarkan lagu seraya memandang layar komputer yang seperti terowongan waktu ke masa mahasiswanya.
Bergetar hatiku saat kuberkenalan dengannya. Kudengar dia menyebutkan nama dirinya. Sejak kubertemu kutelah jatuh hati padanya. Di dalam hati telah menjelma cinta dan bawalah daku selalu dalam mimpimu , di langkahmu serta hidupmu...” begitu alunan suara Vina Panduwinata. Ah..
Jakarta, Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar