Rangkaian kereta listrik sore melintasi jalur yang tak jauh dari sebuah stasiun di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, membuat gubuk-gubuk kecil beratap terpal biru di sisi kanan-kirinya bergetar dan burung-burung gereja yang semula hinggap di pagar pembatas beterbangan.
Namun, laju kendaraan beroda besi itu tak membuat anak-anak menghentikan permainan. Beberapa perempuan dan laki-laki dewasa yang duduk di bangku-bangku kayu sambil mengobrol juga tak menghentikan pembicaraan, bahkan dari balik tirai sebuah gubuk berdinding tripleks seorang anak tampak tertidur pulas di sebuah dipan kayu.
Bau busuk yang meruap dari tumpukan sampah dan onggokan tinja di sela rel saat angin sedikit kencang berembus juga tak mengusik para pemukim yang sepertinya sedang menikmati jeda dengan bermalas-malasan.
Permukiman itu baru benar-benar "bergerak" setelah kereta terakhir melintas pada pukul 18.20 WIB. Hampir serempak orang-orang berjalan menuju ke tengah jalur kereta. Sejumlah pria mengusung meja dan kursi-kursi kayu yang semula bertumpuk di antara gubuk, beberapa orang membangun tenda-tenda dari terpal biru dan oranye, ada pula yang membangun ruang-ruang kecil dari lembaran tripleks.
Para perempuan bergerak ke arah sama, sebagian dengan menggendong bakul berisi aneka dagangan dan langsung menatanya di atas meja kayu yang telah disiapkan di tengah jalur. Ada minuman ringan, macam-macam kudapan terbungkus plastik, dan beberapa botol arak dari beras.
Di salah satu kios, seorang laki-laki tua, setelah membersihkan kaca lampu petromak dan memasangnya, lantas membuka sebuah koper hitam dan kotak plastik. Isinya ratusan atau mungkin lebih dari seribu kemasan aneka jenis tisu basah, kondom dan obat-obatan.
Laki-laki tua itu kemudian mengaitkan kemasan-kemasan kecil tisu, kondom, dan macam-macam obat pada tali yang dipasang di dinding kios.
Deretan beragam obat kuat, pil kontrasepsi, obat antiinflamasi, serta jenis-jenis antibiotik, seperti Ampicilin, Amoxicilin, Thiamphenicol, dan Penbritin, itu membentuk deretan rapi.
Ketika gelap turun dan separuh barang dagangan lelaki tua itu telah tertata, puluhan laki-laki dan perempuan sudah meramaikan kawasan jalur kereta.
Semakin malam, semakin banyak orang yang datang meski tak ada acara rapat, unjuk rasa, pasar malam, atau pertunjukkan dangdut.
Orang-orang hanya terlihat duduk bergerombol di antara rel, mengerumuni pedagang, atau berbincang-bincang di dalam tenda-tenda terpal berpenerangan minim yang memutar lagu dangdut.
"Jangan salah, di sini mereka bukan hanya duduk-duduk, tetapi saling menaksir dan melakukan negosiasi harga, melakukan transaksi seks," kata pegiat AIDS, Baby Jim Aditya.
Di antara laki-laki dan perempuan beragam usia yang berkerumun di jalur kereta itu ada N, seorang perempuan penjaja seks yang usianya kini 40 tahun.
Perempuan asal Subang yang mengaku telah empat kali menikah dan punya empat anak itu bekerja di kawasan jalur kereta api sejak tahun 2000.
"Tadi, sih, berangkat pakai jaket dan celana panjang, sampai sini langsung dibuka. Memang harus seperti ini, namanya juga kerja beginian," kata perempuan berambut lurus itu.
N, yang mengenakan celana hitam selutut dan kaus merah muda tanpa lengan berkerah rendah, berbincang sambil bersedekap, berusaha menahan dingin udara malam yang sedikit basah.
"Syukur anak-anak sekarang sudah besar. Yang pertama sudah menikah, dua masih STM, seorang lagi kuliah di akademi kebidanan," katanya bangga.
N biasa datang ke kawasan jalur kereta selepas magrib dan baru pulang pada dini hari. N mengaku mendapat cukup banyak penghasilan dari pekerjaannya. Setiap melayani tamu dia dibayar antara Rp70.000 dan Rp100.000. Setiap hari hampir selalu ada tamu yang menggunakan jasanya.
Dia sebenarnya merasa hina dan kotor melakukan pekerjaan ini. Ia beberapa kali pernah mencoba pekerjaan lain, tetapi tak bertahan lama.
"Pernah kerja di salon, tetapi dapatnya cuma sedikit, tidak cukup untuk hidup di sini," katanya. Ia pun kemudian kembali bekerja di jalur kereta.
N akan mengais rupiah di sana sampai semua anaknya menyelesaikan sekolah dan memiliki cukup banyak uang untuk menikmati masa tua sambil "menyucikan" diri di kampung halaman.
N tahu pekerjaannya bukan tanpa risiko. Dia sadar penyakit kelamin bisa kapan saja menyerang. Dia juga takut suatu saat penyakit itu melumpuhkan kekuatan tubuhnya.
"Makanya, tiap bulan selalu ke dokter. Mahal, sih, sekali periksa bisa keluar biaya Rp 200.000. Namun, tidak apa-apa, daripada kena penyakit macam-macam," kata dia.
Dia juga selalu menyiapkan beberapa kondom bagi para tamu meski pada akhirnya keputusan untuk menggunakan pengaman ada di tangan tamu dan kebanyakan tamu memilih tak menggunakannya dengan macam-macam alasan.
Selain itu, N berusaha menangkal penyakit dengan mengonsumsi antibiotik tiap hari. Ia tidak tahu penggunaan obat antibiotik yang tidak sesuai indikasi dan aturan akan merusak hati.
Sisi gelap lain di sisi lain kawasan Jakarta Utara, sebuah kolong jembatan yang pada siang hari hanya dihuni seorang perempuan tua dan tumpukan jala nelayan berwarna kehitaman menjadi saksi kegiatan prostitusi tersembunyi.
Pada malam hari puluhan perempuan mendatangi kolong jembatan di wilayah Cilincing itu untuk menawarkan jasa seks, salah satunya adalah Y (34), perempuan asal Painan.
Setiap malam menjelang, suami Y, seorang nelayan yang beberapa bulan terakhir menganggur karena laut sedang tidak ramah, mengantar dia ke kolong jembatan untuk menjual jasa seks kepada pria-pria iseng.
Dalam kegelapan kolong, perempuan beranak dua itu bergabung dengan kerumunan laki-laki tua-muda serta perempuan-perempuan lain yang sebagian besar mengenakan celana pendek dan kaus ketat.
Temaram lampu minyak penjual kudapan dan udara malam yang mengaduk bau amis jala, amonia, serta macam-macam keringat dan parfum menemani para perempuan menebar pesona, berusaha menarik perhatian para calon penyewa tubuh.
Perempuan itu duduk di antara jala atau lantai beralas tikar bersama para lelaki, sepertinya mengobrol. Setelah beberapa saat, seorang laki-laki dan perempuan berdiri lantas berjalan ke arah antrean pasangan di depan sebuah tenda terpal yang tampaknya menjadi tempat pemberian layanan.
Y, yang tiba di kolong sekitar pukul 22.00 WIB, mengaku sudah melayani dua tamu pada pukul 02.00 WIB. Ia hanya hanya mendapat uang Rp 50.000 dari dua tamu dan Rp 10.000 di antaranya harus dibayarkan kepada pemilik persewaan tenda.
"Biasanya satu tamu Rp 30.000 sampai Rp 35.000. Ini lagi sepi, pada enggak ada duit, jadi tawaran segitu terpaksa diambil juga daripada enggak dapat duit," kata dia.
Saat sang suami menganggur, Y harus mendapatkan uang untuk membayar sewa kamar kos Rp 250.000 per bulan serta biaya lain untuk bertahan hidup.
"Kalau tidak, bagaimana kami mau makan dan bayar sewa kamar," katanya.
Tidak seperti N, perempuan yang sejak dua tahun lalu menjadi penjual jasa seks di kolong jembatan dan belum berniat mencoba pekerjaan lain itu tidak terlalu menghiraukan penyakit menular seksual.
Dia mengaku tak pernah sakit. "Paling cuma gatal-gatal," katanya.
Dia tidak pernah menyiapkan kondom, bahkan tidak mau tamunya menggunakan kondom dengan alasan "tidak enak".
Hanya sesekali, saat merasa kesehatannya terganggu, Y mengonsumsi antibiotik atau menggunakan bahan lain yang dia pikir bisa membunuh kuman dan menghilangkan gangguan.
"Selama ini tidak pernah sakit, sih, soalnya tiap hari pulang dari sini selalu dibersihkan pakai odol supaya kuman-kuman pada mati. Kalau gatal-gatal, biasanya minum Amoxicilin atau Supertetra langsung sembuh," katanya.
Beberapa meter dari kolong jembatan gelap tempat Y bekerja, kafe-kafe dan tempat karaoke berhias gemerlap lampu aneka warna berdiri berderet, memutar bermacam lagu dangdut dengan volume tinggi memekakkan telinga secara bersamaan.
Perempuan-perempuan dengan riasan muka, yang kebanyakan mengenakan celana sepanjang satu setengah jengkal dan kaus tanpa lengan, duduk di kursi-kursi plastik di depan kafe dan tempat karaoke; beradu daya tarik demi mendapatkan uang dari pria-pria hidung belang pencari jasa seks.
"Lihat betapa muda-mudanya mereka," kata Baby saat melewati deretan bangunan yang pada siang hari hanya tampak seperti rumah-rumah papan kecil di antara permukiman nelayan yang padat dan kumuh, dengan tali penuh jemuran baju setengah kering di antaranya.
Pemandangan serupa terlihat di sebuah perkampungan yang ada di bagian lain wilayah Cilincing, tak jauh dari perairan berwarna kelam penuh sampah tempat nelayan mengistirahatkan perahu.
Di sana, sekitar 100 bangunan kafe dan tempat karaoke dengan gemerlap lampu warna-warni berdiri di antara rumah penduduk yang ada di dua kompleks rukun tetangga.
Sabtu malam, pukul 24.00 WIB, beberapa anak masih berlarian di gang kecil yang memisahkan dua deretan kafe dan tempat karaoke.
Macam-macam lagu dangdut yang diputar bersamaan dengan sangat kencang hingga menyakitkan telinga manusia membuat suasana riuh, menenggelamkan alunan merdu suara penyanyi dangdut Caca Handika yang mendendangkan lagu cinta.
Namun, keriuhan itu tak mengurangi aura muram yang mulai menyelimuti perkampungan itu saat rintik hujan turun dan kemudian menjadi deras.
Di teras sebuah tempat karaoke, beberapa perempuan muda berpakaian minim berusaha menikmati malam yang suram dengan berjoget diiringi riuh lagu dangdut sambil bersendau gurau.
Beberapa laki-laki bergabung, yang lain hanya duduk menyaksikan dari dalam ruangan dengan lampu-lampu temaram.
"Semua orang sudah tahu kalau ini tempat begituan, saya sering disuruh antar tamu dari pelabuhan ke sini," kata Sony, seorang tukang ojek yang mangkal di salah satu sudut Kota Jakarta Utara.
Potret perempuan di tempat-tempat prostitusi di wilayah Jakarta Utara tak jauh berbeda dengan 15 tahun silam saat Endang Rahayu Sedyaningsih-Mamahit melakukan penelitian di lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak yang kala itu masih jaya.
Peneliti yang saat ini menjabat Menteri Kesehatan mengatakan, ketika itu Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Teratai Harapan Kramat Tunggak atau yang dikenal dengan lokalisasi Kramat Tunggak berdiri di areal seluas 109.435 meter persegi di daerah Kramat Jaya, Jakarta Utara.
Hasil penelitian Endang tahun 1995 yang dibukukan kembali pada Desember 2010 dengan judul Perempuan-perempuan Kramat Tunggak merekam sebagian perilaku perempuan penjaja seks dan pria pengguna jasa seks komersial di Kramat Tunggak.
Perempuan-perempuan yang karena berbagai alasan bekerja sebagai penjaja seks di Kramat Tunggak, menurut hasil penelitian Endang, rata-rata tidak banyak tahu tentang penyakit menular seksual yang mengancam kesehatan dan hidup mereka.
Gejala penyakit kelamin pada perempuan yang sering kali hanya berupa keputihan, rasa nyeri atau panas saat buang air kecil, atau rasa sakit di bagian bawah perut membuat para perempuan tak menyadari serangan awal infeksi menular seksual.
Pada kaum perempuan, gejala infeksi menular seksual juga tidak selalu muncul atau muncul dalam kadar sangat ringan, membuat perempuan yang bekerja sebagai penjaja seks makin hilang kewaspadaan.
Mereka berada di sarang mala tanpa menyadari keberadaan dan besar ancamannya.
Mereka tidak benar-benar tahu bahwa sifilis atau raja singa, kencing nanah, kutil kemaluan, dan sindroma merapuhnya kekebalan tubuh (acquired immunodeficiency syndrome/AIDS) bisa kapan saja menyerang dan mengambil alih tubuh mereka.
Upaya untuk mencegah dan menangkal serangan penyakit-penyakit itu hanya sekadarnya saja dilakukan.
Saat Endang melakukan penelitian, perempuan-perempuan yang bekerja di Kramat Tunggak hanya menjaga diri dari penyakit dengan meminum jamu dan antibiotik serta menggunakan bahan pencuci berupa cairan antiseptik atau pasta gigi untuk membersihkan alat vital.
Cara tersebut sampai sekarang masih digunakan oleh perempuan-perempuan yang bekerja di tempat prostitusi, termasuk N dan Y.
Padahal, cara-cara itu justru dapat meningkatkan risiko terserang gangguan kesehatan lain.
Menurut Endang, penggunaan antibiotik tanpa petunjuk dokter bisa merusak hati dan pemakaian pembersih berisiko membuat kuman naik ke saluran yang lebih tinggi, seperti rongga rahim, serta menimbulkan penyakit radang panggul yang mengakibatkan nyeri perut bawah menahun, kehamilan di luar kandungan, dan kemandulan.
Ia menjelaskan pula bahwa sampai sekarang penggunaan kondom secara konsisten saat berhubungan seks dengan siapa pun merupakan alat paling efektif untuk mencegah infeksi menular seksual bagi perempuan yang berprofesi sebagai pelacur.
Sayangnya, sejak 15 tahun silam sampai sekarang, tingkat penggunaan kondom di lokasi prostitusi masih sangat rendah dan tidak konsisten.
Kebanyakan lelaki pengguna jasa seks memakai bermacam alasan untuk tidak memakai kondom, dengan tanpa beban membuka jalur penularan infeksi menular seksual kepada pekerja seks, kepada pelanggan lain, dan kepada orang-orang yang berhubungan seks dengan para pelanggan jasa seks.
Di kawasan jalur kereta yang saat malam menjadi lokasi prostitusi, obat kuat dan tisu basah jauh lebih laku dibandingkan dengan kondom.
"Obat kuat paling laris. Kondom kalau sepi sehari laku dua biji, kalau ramai bisa sampai sepuluh biji," kata penjual obat kuat dan kondom di kawasan itu.
Menurut Laporan Pencapaian Target Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) pemerintah tahun 2010, tingkat penggunaan kondom oleh laki-laki juga tercatat baru 30 persen.
Perempuan-perempuan yang bekerja di tempat prostitusi pun tidak bisa berbuat banyak karena tidak selalu bisa memenangkan negosiasi dengan pelanggan terkait penggunaan kondom.
Kondisi demikian membuat perempuan-perempuan itu tak punya cukup daya untuk melindungi tubuh mereka yang mungkin sudah teracuni alkohol, rokok, dan obat antibiotik yang dikonsumsi secara tidak rasional dari ancaman macam-macam infeksi menular seksual.
Istri para pengguna jasa seks komersial pun jadi berisiko tinggi tertular infeksi menular seksual karena, menurut perkiraaan, separuh dari sekitar 3,2 juta laki-laki pengguna jasa perempuan penjaja seks beristri.
Hasil penelitian Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) juga menunjukkan bahwa 50 persen lebih dari 3.525 perempuan dengan infeksi HIV dan AIDS di Indonesia adalah ibu rumah tangga.
Mayoritas ibu rumah tangga dengan infeksi HIV atau AIDS tersebut, menurut penelitian KPAN, tertular infeksi HIV dan AIDS dari suami mereka.
Belum cukup
Penyakit menular seksual yang penyebarannya terdata pemerintah, antara lain, adalah HIV/AIDS dan sifilis, penyakit kelamin yang jika tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan serius pada otak dan hati.
Berdasarkan laporan triwulan perkembangan HIV/AIDS Kementerian Kesehatan, sampai Juni 2010 sebanyak 21.770 kasus AIDS dilaporkan terjadi di 32 provinsi dengan proporsi antara lelaki dan perempuan 3:1.
Adapun angka kejadian penyakit sifilis pada perempuan pekerja seks, menurut hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) Kementerian Kesehatan tahun 2009, bervariasi antara 1 persen dan 15 persen.
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan penularan infeksi menular seksual kepada kelompok berisiko tinggi, seperti perempuan pekerja seks dan penggunanya.
Menurut dia, upaya pencegahan penyakit menular seksual yang dilakukan pemerintah antara lain meliputi promosi perilaku seks aman, penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko, serta tata laksana pengobatan.
"Sasarannya masyarakat yang mempunyai perilaku seks tidak aman, seperti perempuan pekerja seks serta pelanggan atau pasangannya," katanya.
Pemerintah, kata dia, melakukan promosi perilaku seks aman dan penggunaan kondom melalui program intervensi perubahan perilaku, seperti advokasi dan sosialisasi bersama lembaga swadaya masyarakat.
Kementerian Kesehatan juga melakukan kegiatan pengobatan presumtif berkala di beberapa wilayah dengan prevalensi penyakit menular seksual tinggi.
"Mereka yang melakukan praktik seksual di tempat-tempat penjualan seks lain, seperti jalanan dan kawasan rel kereta, seharusnya juga bisa menjangkau kegiatan tersebut," katanya.
Namun, kenyataannya program-program pencegahan dan pengendalian penyakit menular seksual tersebut belum bisa menjangkau para pelaku seks berisiko tinggi di seluruh tempat prostitusi, apalagi yang tersembunyi.
Tak pernah mati
Tanggal 31 Desember 1999, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi menutup lokalisasi Kramat Tunggak, yang kala itu dikenal sebagai pusat pelacuran terbesar di Ibu Kota.
Bangunan rumah-rumah bordil kemudian diratakan dengan tanah dan sebagai gantinya dibangun kompleks Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta atau Jakarta Islamic Center (JIC).
Kompleks bangunan yang kini berdiri megah dengan gerbang kokoh tinggi bertulis peringatan "awas benda jatuh dari atas" pada bagian sampingnya tersebut dimaksudkan untuk menampilkan citra religius pada kawasan yang sebelumnya kondang sebagai tempat pelacuran. Untuk mengubah "tanah hitam" menjadi "tanah putih".
Sampai sekarang kompleks bangunan itu menjadi salah satu pusat kegiatan keagamaan. Kajian agama rutin dilakukan setiap Senin, Kamis, dan Minggu pagi.
"Di dalam juga ada perpustakaan besar dengan banyak buku agama dan ada stasiun radio yang menyiarkan kajian agama," kata M Sholeh, petugas satuan pengamanan JIC.
Malam hari, kawasan di sekitar kompleks JIC berubah menjadi pusat keramaian. Orang-orang datang ke sana untuk mencari santapan malam atau sekadar melihat aneka jenis barang yang ditawarkan gerai-gerai yang menempel di pagar kompleks, seperti siput bercahaya.
Kegiatan pelacuran di bekas areal lokalisasi Kramat Tunggak tak ada lagi. Namun, para pelakunya tidak lantas menghentikan praktik dan beralih profesi begitu saja.
"Seperti darah yang jika pembuluhnya tersumbat maka tubuh membentuk pembuluh baru agar dia bisa terus mengalir, mereka juga mengalir ke tempat lain," kata Menteri Kesehatan dalam bukunya.
Dan, beberapa puluh meter dari bekas kawasan lokalisasi Kramat Tunggak sekarang berdiri kafe-kafe yang, selain menyediakan minuman beralkohol, juga menjadi sarana transaksi seks dengan hotel-hotel kecil di sekitarnya sebagai tempat pemberian layanan.
Tempat-tempat pelacuran terselubung di kawasan jalur kereta api, kolong jembatan, dan yang lainnya pun makin ramai.
Meski kebanyakan orang tak menginginkan keberadaannya dan berharap kehidupan berjalan baik tanpanya, jalinan mata rantai permintaan dan penawaran jasa seks tak bisa diputus dengan menutup lokalisasi.
"Penutupan lokalisasi ternyata bukan pemecahan yang memadai karena justru membuat transaksi jual beli jasa itu berpencar menyebar ke tempat-tempat lain secara tak terkendali," tutur Baby.
Ia mengatakan, melokalisir kegiatan itu di satu tempat setidaknya memudahkan upaya untuk menjangkau mereka dan pelanggan mereka dengan program-program kesehatan yang komprehensif dan terukur.
"Sekarang, dengan tidak adanya tempat seperti itu, sulit menjalankan program kesehatan terkait dengan pengendalian infeksi menular seksual dan HIV," kata psikolog penyuka lagu "Pria Idaman" karya Rhoma Irama yang dinyanyikan Rita Sugiarto itu.
Menteri Kesehatan juga mengatakan bahwa pengaturan lokasi prostitusi merupakan satu dari sedikit pilihan yang bisa diambil untuk menahan laju penyebaran infeksi menular seksual.
"Saya pribadi bukan orang yang pro-pelacuran. Kalau bisa, tidak usahlah ada tempat pelacuran di dunia ini, yang terbuka ataupun yang ngumpet-ngumpet. Kalau bisa, semua orang berpantang melakukan seks sebelum menikah dan semua setia kepada pasangannya saja, satu orang.... Namun, apabila semua itu tidak mungkin, tidak realistis, maka tolong, biarkan bordil-bordil semilegal itu berdiri," katanya.
Di samping itu, menurut dia, harus ada aturan ketat yang dijalankan supaya rumah bordil tidak menjadi sarang penyebaran penyakit menular seksual dari pelanggan kepada pekerja seks, dari pekerja seks kepada pelanggan, dan dari pelanggan kepada para istri yang setia menunggu di rumah.
"Aturlah agar kondom selalu dipakai di tempat ini. Aturlah agar ODHA tak muncul di tempat ini. Aturlah agar mereka tak berlama-lama di tempat ini. Aturlah!" katanya.
Pada akhirnya, pilihan yang ada memang tidak banyak karena menghilangkan profesi ini hampir tidak mungkin bisa dilakukan. Banyak yang bilang usia profesi pelacur hampir setua peradaban manusia. Seperti punya ribuan nyawa, ia selalu bisa hidup kembali.Maryati
Namun, laju kendaraan beroda besi itu tak membuat anak-anak menghentikan permainan. Beberapa perempuan dan laki-laki dewasa yang duduk di bangku-bangku kayu sambil mengobrol juga tak menghentikan pembicaraan, bahkan dari balik tirai sebuah gubuk berdinding tripleks seorang anak tampak tertidur pulas di sebuah dipan kayu.
Bau busuk yang meruap dari tumpukan sampah dan onggokan tinja di sela rel saat angin sedikit kencang berembus juga tak mengusik para pemukim yang sepertinya sedang menikmati jeda dengan bermalas-malasan.
Permukiman itu baru benar-benar "bergerak" setelah kereta terakhir melintas pada pukul 18.20 WIB. Hampir serempak orang-orang berjalan menuju ke tengah jalur kereta. Sejumlah pria mengusung meja dan kursi-kursi kayu yang semula bertumpuk di antara gubuk, beberapa orang membangun tenda-tenda dari terpal biru dan oranye, ada pula yang membangun ruang-ruang kecil dari lembaran tripleks.
Para perempuan bergerak ke arah sama, sebagian dengan menggendong bakul berisi aneka dagangan dan langsung menatanya di atas meja kayu yang telah disiapkan di tengah jalur. Ada minuman ringan, macam-macam kudapan terbungkus plastik, dan beberapa botol arak dari beras.
Di salah satu kios, seorang laki-laki tua, setelah membersihkan kaca lampu petromak dan memasangnya, lantas membuka sebuah koper hitam dan kotak plastik. Isinya ratusan atau mungkin lebih dari seribu kemasan aneka jenis tisu basah, kondom dan obat-obatan.
Laki-laki tua itu kemudian mengaitkan kemasan-kemasan kecil tisu, kondom, dan macam-macam obat pada tali yang dipasang di dinding kios.
Deretan beragam obat kuat, pil kontrasepsi, obat antiinflamasi, serta jenis-jenis antibiotik, seperti Ampicilin, Amoxicilin, Thiamphenicol, dan Penbritin, itu membentuk deretan rapi.
Ketika gelap turun dan separuh barang dagangan lelaki tua itu telah tertata, puluhan laki-laki dan perempuan sudah meramaikan kawasan jalur kereta.
Semakin malam, semakin banyak orang yang datang meski tak ada acara rapat, unjuk rasa, pasar malam, atau pertunjukkan dangdut.
Orang-orang hanya terlihat duduk bergerombol di antara rel, mengerumuni pedagang, atau berbincang-bincang di dalam tenda-tenda terpal berpenerangan minim yang memutar lagu dangdut.
"Jangan salah, di sini mereka bukan hanya duduk-duduk, tetapi saling menaksir dan melakukan negosiasi harga, melakukan transaksi seks," kata pegiat AIDS, Baby Jim Aditya.
Di antara laki-laki dan perempuan beragam usia yang berkerumun di jalur kereta itu ada N, seorang perempuan penjaja seks yang usianya kini 40 tahun.
Perempuan asal Subang yang mengaku telah empat kali menikah dan punya empat anak itu bekerja di kawasan jalur kereta api sejak tahun 2000.
"Tadi, sih, berangkat pakai jaket dan celana panjang, sampai sini langsung dibuka. Memang harus seperti ini, namanya juga kerja beginian," kata perempuan berambut lurus itu.
N, yang mengenakan celana hitam selutut dan kaus merah muda tanpa lengan berkerah rendah, berbincang sambil bersedekap, berusaha menahan dingin udara malam yang sedikit basah.
"Syukur anak-anak sekarang sudah besar. Yang pertama sudah menikah, dua masih STM, seorang lagi kuliah di akademi kebidanan," katanya bangga.
N biasa datang ke kawasan jalur kereta selepas magrib dan baru pulang pada dini hari. N mengaku mendapat cukup banyak penghasilan dari pekerjaannya. Setiap melayani tamu dia dibayar antara Rp70.000 dan Rp100.000. Setiap hari hampir selalu ada tamu yang menggunakan jasanya.
Dia sebenarnya merasa hina dan kotor melakukan pekerjaan ini. Ia beberapa kali pernah mencoba pekerjaan lain, tetapi tak bertahan lama.
"Pernah kerja di salon, tetapi dapatnya cuma sedikit, tidak cukup untuk hidup di sini," katanya. Ia pun kemudian kembali bekerja di jalur kereta.
N akan mengais rupiah di sana sampai semua anaknya menyelesaikan sekolah dan memiliki cukup banyak uang untuk menikmati masa tua sambil "menyucikan" diri di kampung halaman.
N tahu pekerjaannya bukan tanpa risiko. Dia sadar penyakit kelamin bisa kapan saja menyerang. Dia juga takut suatu saat penyakit itu melumpuhkan kekuatan tubuhnya.
"Makanya, tiap bulan selalu ke dokter. Mahal, sih, sekali periksa bisa keluar biaya Rp 200.000. Namun, tidak apa-apa, daripada kena penyakit macam-macam," kata dia.
Dia juga selalu menyiapkan beberapa kondom bagi para tamu meski pada akhirnya keputusan untuk menggunakan pengaman ada di tangan tamu dan kebanyakan tamu memilih tak menggunakannya dengan macam-macam alasan.
Selain itu, N berusaha menangkal penyakit dengan mengonsumsi antibiotik tiap hari. Ia tidak tahu penggunaan obat antibiotik yang tidak sesuai indikasi dan aturan akan merusak hati.
Sisi gelap lain di sisi lain kawasan Jakarta Utara, sebuah kolong jembatan yang pada siang hari hanya dihuni seorang perempuan tua dan tumpukan jala nelayan berwarna kehitaman menjadi saksi kegiatan prostitusi tersembunyi.
Pada malam hari puluhan perempuan mendatangi kolong jembatan di wilayah Cilincing itu untuk menawarkan jasa seks, salah satunya adalah Y (34), perempuan asal Painan.
Setiap malam menjelang, suami Y, seorang nelayan yang beberapa bulan terakhir menganggur karena laut sedang tidak ramah, mengantar dia ke kolong jembatan untuk menjual jasa seks kepada pria-pria iseng.
Dalam kegelapan kolong, perempuan beranak dua itu bergabung dengan kerumunan laki-laki tua-muda serta perempuan-perempuan lain yang sebagian besar mengenakan celana pendek dan kaus ketat.
Temaram lampu minyak penjual kudapan dan udara malam yang mengaduk bau amis jala, amonia, serta macam-macam keringat dan parfum menemani para perempuan menebar pesona, berusaha menarik perhatian para calon penyewa tubuh.
Perempuan itu duduk di antara jala atau lantai beralas tikar bersama para lelaki, sepertinya mengobrol. Setelah beberapa saat, seorang laki-laki dan perempuan berdiri lantas berjalan ke arah antrean pasangan di depan sebuah tenda terpal yang tampaknya menjadi tempat pemberian layanan.
Y, yang tiba di kolong sekitar pukul 22.00 WIB, mengaku sudah melayani dua tamu pada pukul 02.00 WIB. Ia hanya hanya mendapat uang Rp 50.000 dari dua tamu dan Rp 10.000 di antaranya harus dibayarkan kepada pemilik persewaan tenda.
"Biasanya satu tamu Rp 30.000 sampai Rp 35.000. Ini lagi sepi, pada enggak ada duit, jadi tawaran segitu terpaksa diambil juga daripada enggak dapat duit," kata dia.
Saat sang suami menganggur, Y harus mendapatkan uang untuk membayar sewa kamar kos Rp 250.000 per bulan serta biaya lain untuk bertahan hidup.
"Kalau tidak, bagaimana kami mau makan dan bayar sewa kamar," katanya.
Tidak seperti N, perempuan yang sejak dua tahun lalu menjadi penjual jasa seks di kolong jembatan dan belum berniat mencoba pekerjaan lain itu tidak terlalu menghiraukan penyakit menular seksual.
Dia mengaku tak pernah sakit. "Paling cuma gatal-gatal," katanya.
Dia tidak pernah menyiapkan kondom, bahkan tidak mau tamunya menggunakan kondom dengan alasan "tidak enak".
Hanya sesekali, saat merasa kesehatannya terganggu, Y mengonsumsi antibiotik atau menggunakan bahan lain yang dia pikir bisa membunuh kuman dan menghilangkan gangguan.
"Selama ini tidak pernah sakit, sih, soalnya tiap hari pulang dari sini selalu dibersihkan pakai odol supaya kuman-kuman pada mati. Kalau gatal-gatal, biasanya minum Amoxicilin atau Supertetra langsung sembuh," katanya.
Beberapa meter dari kolong jembatan gelap tempat Y bekerja, kafe-kafe dan tempat karaoke berhias gemerlap lampu aneka warna berdiri berderet, memutar bermacam lagu dangdut dengan volume tinggi memekakkan telinga secara bersamaan.
Perempuan-perempuan dengan riasan muka, yang kebanyakan mengenakan celana sepanjang satu setengah jengkal dan kaus tanpa lengan, duduk di kursi-kursi plastik di depan kafe dan tempat karaoke; beradu daya tarik demi mendapatkan uang dari pria-pria hidung belang pencari jasa seks.
"Lihat betapa muda-mudanya mereka," kata Baby saat melewati deretan bangunan yang pada siang hari hanya tampak seperti rumah-rumah papan kecil di antara permukiman nelayan yang padat dan kumuh, dengan tali penuh jemuran baju setengah kering di antaranya.
Pemandangan serupa terlihat di sebuah perkampungan yang ada di bagian lain wilayah Cilincing, tak jauh dari perairan berwarna kelam penuh sampah tempat nelayan mengistirahatkan perahu.
Di sana, sekitar 100 bangunan kafe dan tempat karaoke dengan gemerlap lampu warna-warni berdiri di antara rumah penduduk yang ada di dua kompleks rukun tetangga.
Sabtu malam, pukul 24.00 WIB, beberapa anak masih berlarian di gang kecil yang memisahkan dua deretan kafe dan tempat karaoke.
Macam-macam lagu dangdut yang diputar bersamaan dengan sangat kencang hingga menyakitkan telinga manusia membuat suasana riuh, menenggelamkan alunan merdu suara penyanyi dangdut Caca Handika yang mendendangkan lagu cinta.
Namun, keriuhan itu tak mengurangi aura muram yang mulai menyelimuti perkampungan itu saat rintik hujan turun dan kemudian menjadi deras.
Di teras sebuah tempat karaoke, beberapa perempuan muda berpakaian minim berusaha menikmati malam yang suram dengan berjoget diiringi riuh lagu dangdut sambil bersendau gurau.
Beberapa laki-laki bergabung, yang lain hanya duduk menyaksikan dari dalam ruangan dengan lampu-lampu temaram.
"Semua orang sudah tahu kalau ini tempat begituan, saya sering disuruh antar tamu dari pelabuhan ke sini," kata Sony, seorang tukang ojek yang mangkal di salah satu sudut Kota Jakarta Utara.
Potret perempuan di tempat-tempat prostitusi di wilayah Jakarta Utara tak jauh berbeda dengan 15 tahun silam saat Endang Rahayu Sedyaningsih-Mamahit melakukan penelitian di lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak yang kala itu masih jaya.
Peneliti yang saat ini menjabat Menteri Kesehatan mengatakan, ketika itu Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Teratai Harapan Kramat Tunggak atau yang dikenal dengan lokalisasi Kramat Tunggak berdiri di areal seluas 109.435 meter persegi di daerah Kramat Jaya, Jakarta Utara.
Hasil penelitian Endang tahun 1995 yang dibukukan kembali pada Desember 2010 dengan judul Perempuan-perempuan Kramat Tunggak merekam sebagian perilaku perempuan penjaja seks dan pria pengguna jasa seks komersial di Kramat Tunggak.
Perempuan-perempuan yang karena berbagai alasan bekerja sebagai penjaja seks di Kramat Tunggak, menurut hasil penelitian Endang, rata-rata tidak banyak tahu tentang penyakit menular seksual yang mengancam kesehatan dan hidup mereka.
Gejala penyakit kelamin pada perempuan yang sering kali hanya berupa keputihan, rasa nyeri atau panas saat buang air kecil, atau rasa sakit di bagian bawah perut membuat para perempuan tak menyadari serangan awal infeksi menular seksual.
Pada kaum perempuan, gejala infeksi menular seksual juga tidak selalu muncul atau muncul dalam kadar sangat ringan, membuat perempuan yang bekerja sebagai penjaja seks makin hilang kewaspadaan.
Mereka berada di sarang mala tanpa menyadari keberadaan dan besar ancamannya.
Mereka tidak benar-benar tahu bahwa sifilis atau raja singa, kencing nanah, kutil kemaluan, dan sindroma merapuhnya kekebalan tubuh (acquired immunodeficiency syndrome/AIDS) bisa kapan saja menyerang dan mengambil alih tubuh mereka.
Upaya untuk mencegah dan menangkal serangan penyakit-penyakit itu hanya sekadarnya saja dilakukan.
Saat Endang melakukan penelitian, perempuan-perempuan yang bekerja di Kramat Tunggak hanya menjaga diri dari penyakit dengan meminum jamu dan antibiotik serta menggunakan bahan pencuci berupa cairan antiseptik atau pasta gigi untuk membersihkan alat vital.
Cara tersebut sampai sekarang masih digunakan oleh perempuan-perempuan yang bekerja di tempat prostitusi, termasuk N dan Y.
Padahal, cara-cara itu justru dapat meningkatkan risiko terserang gangguan kesehatan lain.
Menurut Endang, penggunaan antibiotik tanpa petunjuk dokter bisa merusak hati dan pemakaian pembersih berisiko membuat kuman naik ke saluran yang lebih tinggi, seperti rongga rahim, serta menimbulkan penyakit radang panggul yang mengakibatkan nyeri perut bawah menahun, kehamilan di luar kandungan, dan kemandulan.
Ia menjelaskan pula bahwa sampai sekarang penggunaan kondom secara konsisten saat berhubungan seks dengan siapa pun merupakan alat paling efektif untuk mencegah infeksi menular seksual bagi perempuan yang berprofesi sebagai pelacur.
Sayangnya, sejak 15 tahun silam sampai sekarang, tingkat penggunaan kondom di lokasi prostitusi masih sangat rendah dan tidak konsisten.
Kebanyakan lelaki pengguna jasa seks memakai bermacam alasan untuk tidak memakai kondom, dengan tanpa beban membuka jalur penularan infeksi menular seksual kepada pekerja seks, kepada pelanggan lain, dan kepada orang-orang yang berhubungan seks dengan para pelanggan jasa seks.
Di kawasan jalur kereta yang saat malam menjadi lokasi prostitusi, obat kuat dan tisu basah jauh lebih laku dibandingkan dengan kondom.
"Obat kuat paling laris. Kondom kalau sepi sehari laku dua biji, kalau ramai bisa sampai sepuluh biji," kata penjual obat kuat dan kondom di kawasan itu.
Menurut Laporan Pencapaian Target Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) pemerintah tahun 2010, tingkat penggunaan kondom oleh laki-laki juga tercatat baru 30 persen.
Perempuan-perempuan yang bekerja di tempat prostitusi pun tidak bisa berbuat banyak karena tidak selalu bisa memenangkan negosiasi dengan pelanggan terkait penggunaan kondom.
Kondisi demikian membuat perempuan-perempuan itu tak punya cukup daya untuk melindungi tubuh mereka yang mungkin sudah teracuni alkohol, rokok, dan obat antibiotik yang dikonsumsi secara tidak rasional dari ancaman macam-macam infeksi menular seksual.
Istri para pengguna jasa seks komersial pun jadi berisiko tinggi tertular infeksi menular seksual karena, menurut perkiraaan, separuh dari sekitar 3,2 juta laki-laki pengguna jasa perempuan penjaja seks beristri.
Hasil penelitian Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) juga menunjukkan bahwa 50 persen lebih dari 3.525 perempuan dengan infeksi HIV dan AIDS di Indonesia adalah ibu rumah tangga.
Mayoritas ibu rumah tangga dengan infeksi HIV atau AIDS tersebut, menurut penelitian KPAN, tertular infeksi HIV dan AIDS dari suami mereka.
Belum cukup
Penyakit menular seksual yang penyebarannya terdata pemerintah, antara lain, adalah HIV/AIDS dan sifilis, penyakit kelamin yang jika tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan serius pada otak dan hati.
Berdasarkan laporan triwulan perkembangan HIV/AIDS Kementerian Kesehatan, sampai Juni 2010 sebanyak 21.770 kasus AIDS dilaporkan terjadi di 32 provinsi dengan proporsi antara lelaki dan perempuan 3:1.
Adapun angka kejadian penyakit sifilis pada perempuan pekerja seks, menurut hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) Kementerian Kesehatan tahun 2009, bervariasi antara 1 persen dan 15 persen.
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan penularan infeksi menular seksual kepada kelompok berisiko tinggi, seperti perempuan pekerja seks dan penggunanya.
Menurut dia, upaya pencegahan penyakit menular seksual yang dilakukan pemerintah antara lain meliputi promosi perilaku seks aman, penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko, serta tata laksana pengobatan.
"Sasarannya masyarakat yang mempunyai perilaku seks tidak aman, seperti perempuan pekerja seks serta pelanggan atau pasangannya," katanya.
Pemerintah, kata dia, melakukan promosi perilaku seks aman dan penggunaan kondom melalui program intervensi perubahan perilaku, seperti advokasi dan sosialisasi bersama lembaga swadaya masyarakat.
Kementerian Kesehatan juga melakukan kegiatan pengobatan presumtif berkala di beberapa wilayah dengan prevalensi penyakit menular seksual tinggi.
"Mereka yang melakukan praktik seksual di tempat-tempat penjualan seks lain, seperti jalanan dan kawasan rel kereta, seharusnya juga bisa menjangkau kegiatan tersebut," katanya.
Namun, kenyataannya program-program pencegahan dan pengendalian penyakit menular seksual tersebut belum bisa menjangkau para pelaku seks berisiko tinggi di seluruh tempat prostitusi, apalagi yang tersembunyi.
Tak pernah mati
Tanggal 31 Desember 1999, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi menutup lokalisasi Kramat Tunggak, yang kala itu dikenal sebagai pusat pelacuran terbesar di Ibu Kota.
Bangunan rumah-rumah bordil kemudian diratakan dengan tanah dan sebagai gantinya dibangun kompleks Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta atau Jakarta Islamic Center (JIC).
Kompleks bangunan yang kini berdiri megah dengan gerbang kokoh tinggi bertulis peringatan "awas benda jatuh dari atas" pada bagian sampingnya tersebut dimaksudkan untuk menampilkan citra religius pada kawasan yang sebelumnya kondang sebagai tempat pelacuran. Untuk mengubah "tanah hitam" menjadi "tanah putih".
Sampai sekarang kompleks bangunan itu menjadi salah satu pusat kegiatan keagamaan. Kajian agama rutin dilakukan setiap Senin, Kamis, dan Minggu pagi.
"Di dalam juga ada perpustakaan besar dengan banyak buku agama dan ada stasiun radio yang menyiarkan kajian agama," kata M Sholeh, petugas satuan pengamanan JIC.
Malam hari, kawasan di sekitar kompleks JIC berubah menjadi pusat keramaian. Orang-orang datang ke sana untuk mencari santapan malam atau sekadar melihat aneka jenis barang yang ditawarkan gerai-gerai yang menempel di pagar kompleks, seperti siput bercahaya.
Kegiatan pelacuran di bekas areal lokalisasi Kramat Tunggak tak ada lagi. Namun, para pelakunya tidak lantas menghentikan praktik dan beralih profesi begitu saja.
"Seperti darah yang jika pembuluhnya tersumbat maka tubuh membentuk pembuluh baru agar dia bisa terus mengalir, mereka juga mengalir ke tempat lain," kata Menteri Kesehatan dalam bukunya.
Dan, beberapa puluh meter dari bekas kawasan lokalisasi Kramat Tunggak sekarang berdiri kafe-kafe yang, selain menyediakan minuman beralkohol, juga menjadi sarana transaksi seks dengan hotel-hotel kecil di sekitarnya sebagai tempat pemberian layanan.
Tempat-tempat pelacuran terselubung di kawasan jalur kereta api, kolong jembatan, dan yang lainnya pun makin ramai.
Meski kebanyakan orang tak menginginkan keberadaannya dan berharap kehidupan berjalan baik tanpanya, jalinan mata rantai permintaan dan penawaran jasa seks tak bisa diputus dengan menutup lokalisasi.
"Penutupan lokalisasi ternyata bukan pemecahan yang memadai karena justru membuat transaksi jual beli jasa itu berpencar menyebar ke tempat-tempat lain secara tak terkendali," tutur Baby.
Ia mengatakan, melokalisir kegiatan itu di satu tempat setidaknya memudahkan upaya untuk menjangkau mereka dan pelanggan mereka dengan program-program kesehatan yang komprehensif dan terukur.
"Sekarang, dengan tidak adanya tempat seperti itu, sulit menjalankan program kesehatan terkait dengan pengendalian infeksi menular seksual dan HIV," kata psikolog penyuka lagu "Pria Idaman" karya Rhoma Irama yang dinyanyikan Rita Sugiarto itu.
Menteri Kesehatan juga mengatakan bahwa pengaturan lokasi prostitusi merupakan satu dari sedikit pilihan yang bisa diambil untuk menahan laju penyebaran infeksi menular seksual.
"Saya pribadi bukan orang yang pro-pelacuran. Kalau bisa, tidak usahlah ada tempat pelacuran di dunia ini, yang terbuka ataupun yang ngumpet-ngumpet. Kalau bisa, semua orang berpantang melakukan seks sebelum menikah dan semua setia kepada pasangannya saja, satu orang.... Namun, apabila semua itu tidak mungkin, tidak realistis, maka tolong, biarkan bordil-bordil semilegal itu berdiri," katanya.
Di samping itu, menurut dia, harus ada aturan ketat yang dijalankan supaya rumah bordil tidak menjadi sarang penyebaran penyakit menular seksual dari pelanggan kepada pekerja seks, dari pekerja seks kepada pelanggan, dan dari pelanggan kepada para istri yang setia menunggu di rumah.
"Aturlah agar kondom selalu dipakai di tempat ini. Aturlah agar ODHA tak muncul di tempat ini. Aturlah agar mereka tak berlama-lama di tempat ini. Aturlah!" katanya.
Pada akhirnya, pilihan yang ada memang tidak banyak karena menghilangkan profesi ini hampir tidak mungkin bisa dilakukan. Banyak yang bilang usia profesi pelacur hampir setua peradaban manusia. Seperti punya ribuan nyawa, ia selalu bisa hidup kembali.Maryati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar